Archive for the ‘Sejarah Aceh Tempo Dulu’ Category

SAYA punya keyakinan, orang-orang tua di Cot Pulot Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot, Jeumpa dan Leupeung yang terjadi 56 tahun. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai.

Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.

Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.

Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.

Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.

Koran Peristiwa

Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.

Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal

Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.

Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.

Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.

Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.

Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.

Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.

Penulis :
Murizal Hamzah
Penulis adalah editor Buku Biografi Wakapolri Jusuf Manggabarani, “Cahaya Bhayangkara”.
Sumber : Serambinews.com

Sejarah dan budaya Aceh banyak ditulis oleh kaum orientalis barat. Konon, dokumen sejarah dan budaya Aceh terlengkap tidak dimiliki Aceh, tapi ada di Belanda dalam Atjeh Institute.

Atjeh Institute dibangun pada 31 Juli 1914 atas prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan KB nomor 61 oleh pemerintah Kolonial Belanda.


Tulisan-tulisan tentang Aceh yang ditulis oleh ahli ketimuran, baik dari Belanda maupun penulis-penulis barat yang pernah membuat penelitian di Aceh, semuanya dihimpun di Atjeh Institute tersebut.

Prof Dr Aboe Bakar Atjeh dalam makalah tentang “Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah” yang disampaikan pada seminar kebudayaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua tahun 1972, menyebutkan susunan pengurusan Atjeh Institute ketika itu, Ketua Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje. Sekretaris Dr C Janssen dan Prof J V.Van Werde C J Haselman sebagai Bendahara.

Untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda kala itu dalam usaha menaklukan Aceh, maka berbagai adat dan budaya serta karakteristik masyarakat Aceh diteliti di Atjeh institute. Lalu dibukukan dengan menggunakan bahasa Belanda. Buku-buku yang terlengkap tentang sejarah dan budaya Aceh yang sampai saat ini terpelihara.

Kesungguhan pemerintah kolonial Belanda dalam mendalami dan meneliti karakteristik dan budaya Aceh, tercermin dari pembentukan Atjeh Institute tersebut. Bahkan, Snouck dikirim ke Mekkah untuk mendalami Islam agar lebih mudah berintegrasi dengan masyarakat Aceh dalam melakukan penelitiannya.

Ketika itu orang Aceh menerimanya dan menempatkannya setara ulama. Sebagaimana sejarah mencatat, dimana Snouck sering menjadi khatib dimesjid-mesjid ditempat dia melakukan penelitian. Sehingga Snouck dipanggil oleh orang Aceh saat itu dengan gelar “Teungku Puteh” yang dibermakna ulama dari barat. Padahal dia sebenarnya bukan muslim, melainkan orang yang punya banyak pengetahuan tentang agama islam.

Buah dari investigasi pura-pura Islam Snouck tersebut, maka lahirlah buku budaya Aceh. Ia melakukan penelitian langsung ke Aceh setelah sebelumnya mengumpulkan data-data dari pelawatan Aceh dan Cina yang pernah singgah di Aceh, baik masa Hindu maupun setelah kedatangan Islam. Seperti Dr G A J Hazuee, dan J Kreemer.

Semua biaya penelitian mereka ditanggung oleh Atjeh Institute. Dari penelitian mereka, lahir pulalah buku-buku tentang kebudayaan dan Sejarah zaman keemasan Aceh yaitu buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer dan buku “Encyopedie Van Ned Indie”.

Buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer merupakan yang terluas cakupannya tentang identitas dan budaya rakyat Aceh. Hal itu dilatari kepentingannya menulis buku tersebut yang lebih didominir rasa tanggung jawabnya sebagai pakar sejarah dari pada kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Sementara dari kalangan jurnalis, muncul H C Zentgraaf, redaktur Kepala surat kabar Java Bode. Mantan serdadu Belanda yang pernah ikut dalam perang Aceh, setelah pensiun dari militer dan bekerja sebagai wartawan perang. Ia menulis tentang kebrutalan serdadu Moersose bentukan Belanda dalam memerangi rakyat Aceh.

Rangkuman dari pengalamannya itulah yang kemudian dikumpulkan dealam buku “Atjeh”. Zentgraaf dengan gamblang menulis tentang karakteristik, keperkasaan serta ketangguhan rakyat Aceh dalam menghadapi serangan Belanda. Zentgraaf tidak segan-segan mencela bangsanya (Belanda-red) sendiri yang terlalu arogan.

Buku Zentgraaf tersebut dengan berani diterbitkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda masih menguasai nusantara, banyak kritikus menilai buku tersebut merupakan gondam yang memukul pemerintah Belanda kala itu.

Pada masa itu ada juga beberapa penulis lainnya, yang menulis tentang Aceh, diantaranya, Van Veer, Van Graaff, van Den Plass, Van Den Nomensen, semuanya dari Belanda. Kemudian Prof. Dr Griff dari Inggris, Marcopolo dari Spanyol, dan Prof Dr. Wit Shing dari Cina.

Soal dokumentasi budaya, rakyat Jawa lebih beruntung, atas prakarsa almarhum Prof Dr DA Husein Djajninggrat berhasil melobi pemerintah kolonoal Belanda untuk membangun Java Institute di Yogyakarta dengan Museum Sono Budoyo dan majalah Jowo. Sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

Begitu juga di Surakarta walau tidak begitu lengkap, masih mempunyai pusat kebudayaan yang mencerminkan karakteristik daerahnya. Pusat kebudayaan yang dikenal Radio Putoko itu terdapat di lokasi latihan dan manifestasi kebudayaan yang dinamai Taman Sriwidari.

Namun Aceh, karena keunikannya dan oleh Belanda Atjeh Institute tidak dibangun di Aceh, melainkan di negeri Belanda. Karena Belanda menilai sangat penting dokumentasi tentang Aceh ketimbang daerah lainnya di nusantara yang berhasil ditaklukkannya.
Diplomasi 1602

Ketertarikan Belanda Terhadap Aceh sudah dimulai sejak diplomat Aceh, Abdul Hamid mengunjungi Belanda, yang konon katanya merupakan diplomat pertama dari asia yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Belanda waktu itu.

Abdul Hamid diutus oleh Sultan Alauddin Al Mukamil ke negeri kincir angin tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Menurut Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.

Namun, sejak 18 Agustus 1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi ancaman bagi perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, dan Bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari hal tersebut. Akan tetapi tetap menjaga hubungan dengan Portugis.

Persaingan dagang kemudian membuat hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.

Malah, pada tahun 1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira mengancam dengan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak dagang dengan Aceh. Aceh dan Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di selat Malaka.

Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.

Selanjutnya, menurut Prof Dr H Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599–saat itu Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah.

Orang pertama Belanda yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan dua kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan Aceh.

Menyadari adanya misi dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya, Portugis tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu itu Portugis bermusuhan dengan Belanda.

Raja Aceh pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal maka Cornelis pun kemudian dibunuh. Sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.

J Kreemer, seorang penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menjelaskan, pada November 1600 Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie untuk merintis hubungan dagang dengan Aceh.

Paulus van Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.

Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa tersebut terangkum dalam De Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V Caerden, dalam buku J.E Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.

Pun demikian, Belanda terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah ke Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam perdagangan ingin direbut Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda terus saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang hubungan dagang antara Aceh dan Portugis jadi putus.
Hubungan Dagang

Hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi terjalin pada tahun 1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh yang merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.

Pedagang-pedagang dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut datang dari misi dagang Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuw yang merupakan sebuah eskader dari Middelburg.

Utusan Raja Belanda itu ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh. Sementara Frederick de Houtman dan teman-temanya yang ditahan oleh Sultan Aceh dibebaskan.

Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah Leonard Werner.

Rombongan ini tiba di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan mereka disambut besar-besaran. Pada 9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta Aceh dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut kemudian ditulis oleh Dr J J F Wap dalam buku “Het gezantschap van den sultan van Achin (1602) aan Print Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862.

Penulis & Sumber : Iskandar Norman

Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:

  • Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar.
  • Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
  • Bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat.
  • Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
  • Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.

Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.

Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dgn tahun 1385 M-1923 M ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur di dunia bagian Asia telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yg berada di wilayah Aceh yg didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yg segera berganti nama setelah masuk Islam dgn nama Malik al-Saleh yg meninggal pada tahun 1297. Dimana pengganti tak jelas namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir cucu daripada Malik al-Saleh.

Samudera Pasai – Lahir Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dgn raja yg pertama Balaputera Dewa yg berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerah semakin meluas setelah daerah kerajaan Melayu; Tulang Bawang Pulau Bangka Jambi Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya. Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatan ternyata mengundang raja Rajendra Chola dari Chola di India selatan tak bisa menahan nafsu serakah maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Dalam pertempuran dinasti Syailendra tak mampu menahan serangan tentara India selatan ini raja Sriwijaya ditawan dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dgn raja Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucu Malik Al Zahir.

Politik Samudera Pasai bertentangan dgn Politik Gajah Mada
Gajah Mada yg diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331 naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yg diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapan yg disebut dgn sumpah palapa yg berisikan “dia tak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dgn dasar sumpah palapa inilah Gajah Mada merasa tak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai tetapi Majapahit tak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai krn di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempur sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yg berpusat di Palembang ini.

Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yg amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yg tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau Sumatera Timur hingga Perak di semenanjung Malaysia.Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yg memiliki tradisi militer dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka yg meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dgn seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dgn nama Putroe Phang. Konon krn terlalu cinta sang Sultan dgn istri Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabar sang puteri selalu sedih krn memendam rindu yg amat sangat terhadap kampung halaman yg berbukit-bukit. Oleh krn itu Sultan membangun Gunongan utk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh melawan Portugis
Ketika kerajaan Islam Samudera Pasai dalam krisis maka kerajaan Islam Malaka yg muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yg berganti nama setelah masuk Islam dgn panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dgn armada menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yg dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

Pada abad ke-16 Ratu Inggris yg paling berjaya Elizabeth I sang Perawan mengirim utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam” serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris dan mengizinkan Inggris utk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yg amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yg misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yg berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan melayu yg memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalam meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yg terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naik 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal Seri Ratu Safiatudin Seri Tajul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yg merupakan Sultanah yg pertama adl seorang wanita yg amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa Spanyol Belanda Aceh Melayu Arab dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yg beranggotakan 96an orang 1/4 diantara adl wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yg menyatakan keberatan akan seorang Wanita yg menjadi Sultanah. Akhir berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dgn Belanda Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yg disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanan menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman utk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Hubungan dgn Barat – Inggris
Pada abad ke-16 Ratu Inggris Elizabeth I mengirimkan utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yg ditujukan: “Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris utk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yg berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh yg masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin yg terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yg tunduk kepada Aceh yg terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yg mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja James.

Hubungan dgn Barat – Belanda
Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Hubungan dgn Barat – Ottoman
Pada masa Iskandar Muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yg berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Hubungan dgn Barat – Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan Melayu yg memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Do (kini Meuligo Aceh kediaman Gubernur). Di dalam meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istana (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yg terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naik empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal Seri Ratu Safiatudin Seri Tajul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yg merupakan Sultanah yg pertama adl seorang wanita yg amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa Spanyol Belanda Aceh Melayu Arab dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yg beranggotakan 96 orang 1/4 di antara adl wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yg menyatakan keberatan akan seorang wanita yg menjadi Sultanah. Akhir berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datang Pihak kolonial Ke Aceh
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yg berkepanjangan sejak awal abad ke-16 pertama dgn Portugal lalu sejak abad ke-18 dgn Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18 Aceh terpaksa menyerahkan wilayah di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824 Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani di mana Britania menyerahkan wilayah di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adl koloni mereka meskipun hal ini tak benar. Pada tahun 1871 Britania membiarkan Belanda utk menjajah Aceh kemungkinan utk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli Langkat Asahan dan Serdang kepada Belanda padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adl Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dgn garis lintang Sinagpura. Kedua mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tak menepati janji sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris krn memang Belanda bersalah.
4. Di buka terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting utk lalulintas perdagangan.
5. Dibuat Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda yg isi Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda utk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerah di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871 Aceh mengadakan hubungan diplomatik dgn Konsul Amerika Italia Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dgn Konsul Amerika Italia dan Turki di Singapura Belanda menjadikan itu sebagai alasan utk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dgn 2 kapal perang datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu tetapi Sultan Machmud menolak utk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dgn 3.000 serdadu yg dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874 namun dikalahkan tentara Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah yg telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874 digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880 pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fisabilillah dikobarkan di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dgn Belanda Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yg disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanan menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman utk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yg sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yg cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu Menteri Perang Belanda Weitzel kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat di antara Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda utk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dgn pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada 1892 dan 1893 pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yg telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh utk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerja itu dibukukan dgn judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana utk menaklukkan Aceh.

Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yg bertugas di Aceh adalah
1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dgn para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh dgn cara mendirikan langgar masjid memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898 J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904 kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehat dan bersama letnan Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda) merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Daud akhir meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istri anak serta ibunda terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhir jatuh seluruh pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dgn bangunan baru yg sekarang dikenal dgn nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz dimana dibentuk pasukan marsuse yg dipimpin oleh Christoffel dgn pasukan Colone Macan yg telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan hutan-hutan rimba raya Aceh utk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikut yg dilakukan Belanda adl dgn cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misal Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibat Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dgn diam-diam menyergap Tangse kembali Panglima Polem dapat meloloskan diri tetapi sebagai ganti ditangkap putera Panglima Polem Cut Po Radeu saudara perempuan dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibat Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjut pembersihan dgn cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuh yg terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nya Dien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya dimana akhir Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang Jawa Barat.
Surat Perjanjian Pendek Tanda Menyerah Ciptaan Van Heutz

Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan Raja (Sultan) mengakui daerah sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dgn kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda. (RH Saragih J Sirait M Simamora Sejarah Nasional 1987)

Bangkit Nasionalisme Aceh
Sementara pada masa kekuasaan Belanda bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dgn wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam sebuah organisasi dagang Islam yg didirikan di Surakarta pada tahun 1912 tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939 Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabang di Aceh menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yg sama para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) sebuah organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama Moehammad Hasan).

Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lain rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942 krn Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang utk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah termasuk di Bayu dekat Lhokseumawe pada tahun 1942 yg dipimpin Teungku Abdul Jalil dan di Pandrah Jeunieb pada tahun 1944.

Masa Republik IndonesiaAceh Tidak Termasuk Anggota Negara-negara Bagian RIS
41 tahun kemudian semenjak selesai perang Aceh Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan utk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai sebelum Van Mook menciptakan negara-negara boneka yg tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yg meliputi seluruh Indonesia yaitu yg terdiri dari:
1. Negara RI yg meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yg tegak sendiri seperti Jawa Tengah Bangka-Belitung Riau Daerah Istimewa Kalimantan Barat Dayak Besar Daerah Banjar Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebih yg bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adl Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang utk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh
Belanda dibawah Ratu Juliana Perdana Menteri Dr. Willem Drees Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangan pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yg sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yg sama Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangan pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Sekretariat Negara RI 1986)

Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dgn persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu beberapa negara bagian menggabungkan ke RI sehingga pada tanggal 5 April 1950 yg tinggal hanya tiga negara bagian yaitu RI NST (Negara Sumatera Timur) dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya utk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Sekretariat Negara RI 1986)

Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat bangsa asing pemeluk bermatjam2 Agama pegawai negeri saudagar dan sebagainja:
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama utk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa bekerdjalah dgn sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage merusakkan harta vitaal mentjulik merampok menjiarkan kabar bohong inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dgn hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yg beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk krn Islam memerintahkan utk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

Daud Beureueh Menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Sekretariat Negara RI 1986)

Hasan Di Tiro Mendeklarasi Negara Aceh Sumatera
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.
“ “Kepada rakyat di seluruh dunia:
Kami rakyat Aceh Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami dgn ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh Sumatra yg berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra
4 Desember 1976” ”
“ “To the people of the world:
We the people of Acheh Sumatra exercising our right of self-determination and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java.
In the name of sovereign people of Acheh Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh Sumatra December 4 1976

Akhir Konflik di Aceh – Operasi militer Indonesia di Aceh
Pada 15 Agustus 2005 GAM dan pemerintah Indonesia akhir berhasil mencapai kesepakatan damai utk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.

Pada 26 Desember 2004 sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yg melanda sebagian besar pesisir barat Aceh termasuk Banda Aceh dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD khusus di bagian barat selatan dan pedalaman utk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yg disebut Aceh Leuser Antara yg terdiri dari Aceh Tengah Bener Meriah Gayo Lues Aceh Tenggara dan Aceh Singkil serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yg terdiri dari Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Simeulue Aceh Barat dan Aceh Jaya.

4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno Jakarta yg dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yg ingin dimekarkan wilayah dan dilanjutkan dgn unjukrasa yg menuntut lepas 11 kabupaten tadi dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada 15 Agustus 2005 GAM dan pemerintah Indonesia akhir menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yg telah berlangsung selama hampir 30 tahun.