Hari Jadi Propinsi Daerah Istimewa Aceh

Posted: Mei 4, 2012 in Aceh

Tahukah Anda bahwa bulan Mei ini ultah ke 21 :

26 Mei 1959 – 26 Mei 1980

Oleh : T.A.SAKTI

Bulan  Mei  merupakan bulan yang istimewa bagi   bangsa Indonesia. Di bulan Mei ini kita berhadapan dengan dua peristiwa sejarah yang dirayakan secara nasional dan satu peristiwa sejarah, khususnya bagi daerah Istimewa Aceh. Hari bersejarah secara nasional yaitu Hari Pendidikan Nasional ( 2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Sementara Hari Besar bagi kita di Aceh ialah tgl 26 Mei yaitu HARI LAHIR DAERAH ISTIMEWA ACEH, inilah yang kita peringati melalui tulisan ini.

TANGGAL 26 Mei adalah hari yang sangat penting’ bagi kita rakyat Indonesia yang berada di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, karena pada hari inilah Pemerintah Pusat memberikan secara resmi gelaran atau julukan DAERAH ISTIMEWA bagi Aceh. Kita memperingati hari yang bersejarah ini, bukanlah bertujuan membanggakan bahwa kita super dari daerah lain, tapi hanya sekedar mengingatkan kita akan masa-masa sukar di waktu silam, dengan peringatan ini kita harapkan supaya partisipasi kita dalam pembangunan manusia Indonesia yang se-utuhnya itu akan lebih bergairah lagi.

Tulisan ini juga sekaligus memperingati ‘genap satu abad usia Hikayat Prang Sabi’ yang jatuh pada tahun 1980 ini. Hikayat Prang Sabi sangat berjasa bagi kita, karena dengannya telah menggelorakan semangat perjuangan rakyat Aceh, ketika menentang penjajahan Belanda dulu. Hikayat Prang Sabi ini dikarang oleh Teungku Syik Pante Kulu dan beberapa Ulama lainnya dalam tahun 1880. Maka sudah sewajarnyalah apabila Pemerintah Indonesia khususnya Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, mengadakan upacara peringatan yang ‘sesuai” dengan jasa yang telah disumbangkan oleh Hikayat Prang Sabi ini dan juga mempertimbangkan pemberian “gelar kehormatan” kepada pengarang dari Hikayat Prang Sabi yaitu Teungku Syik Pante Kulu pada tahun 1980 ini. Semoga janganlah nanti ada dari anak-anak   cucu kita yang mencap kita sebagai bunyi pepatah ; “Kacang yang lupa kulitnya”.

Sejak tgl 26 Mei tahun pertama peresmian Hari Daerah Istimewa Aceh sampai sekarang, kita selalu mendengar dan membaca bahwa apabila orang menyebut daerah Aceh selalu diiringi dengan embel-embel   ‘Istimewa’ disampingnya, lebih-lebih   kalau dalam peristiwa2  resmi. Gubernur Aceh Prof HA Madjid Ibrahim menyatakan bahwa daerah Aceh mempunyai keistimewaan dalam tiga hal ; istimewa dalam bidang pendidikan, istimewa dalam bidang keagamaan dan bidang peradatan. Dalam bidang keagamaan, kita sebagai hamba Allah, marilah lebih meningkatkan penghayatan kepada dalil2  keagamaan dalam rangka meningkatkan peribadatan masing2 . Hal itu dinyatakan baru2  ini dalam sambutannya pada upacara penyambutan abad ke 15 Hijriyah, bertempat di SD Inpres Lamlhom, Lhok Nga Kabupaten Aceh Besar” (Waspada,  4 Des 1979).

Pemberian atau penganugerahan Daerah Istimewa bagi Aceh, bukanlah tanpa landasan, tapi ia punya landasan berpijak yang kuat sekali di negara kita yaitu Undang-undang Dasar 1945. Hal ini tercantum dalam pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi ; “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa”.

Ketika memperingati Ulang Tahun ke sepuluh Hari Daerah Istimewa Aceh, Panglima KODAM I Iskandar Muda, Brigadir Jenderal TNI T.Hamzah (kini almarhum) pernah mengatakan ; “Hak asal-usul yang bersifat hidup dan bersifat istimewa di daerah Aceh, adalah pandangan hidup rakyatnya yang telah turun temurun dan tetap dijaga-dihormati, yaitu ; kebaktiannya kepada ALLAH, hidup beramal, mati beriman. Berarti adat peri hidup, peri laku, tutur kata dan perbuatan rakyat Aceh se-hari2  adalah bersendikan kepada agama, sebagaimana telah digambarkan oleh hadis majanya ; Adat bersendikan syara’-syara’ bersendikan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Dalam hal ini telah merupakan kesadaran hukum adat atau hukum rakyat. Tegas menunjukkan, bahwa adat dengan syara’ bagi rakyat Aceh adalah seperti zat dengan sifat yang tidak terpisahkan. Apa yang dikatakan syara’ atau ajaran agama itulah yang dikerjakan dan demikianlah pelaksanaannya, demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi Adat peri laku hidup rakyat Aceh se-hari2  adalah sesuai dengan ajaran Islam. Sedang ajaran Islam ini bersumber dari kitabullah yaitu Qur ‘anulkarim dan Sunnah Rasul. Apa yang dimaksud dengan mengamalkan ajaran agama, adalah melaksanakan ajaran Tuhan, mengambil isinya, bukan merek dan kulit. Tegasnya mengamalkan ajaran Islam. Maka sesuai dengan kondisi dan aspirasi rakyat yang hidup dan telah berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat sehari2  serta berdasarkan dan mengindahkan hak-hak   asal usul yang hidup dan bersifat istimewa di Daerah Aceh, maka oleh Pemerintah Pusat dengan Keputusan Perdana Menteri R.I tgl 26 Mei 1959 telah memberikan status ke-istimewaan bagi Propinsi Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dengan keistimewaannya dibidang agama, peradatan dan pendidikan’. demikian kata. T.Hamzah yang menjadi Panglima KODAM I itu. Disamping julukan Daerah Istimewa yang sedang kita peringati ulang tahunnya yang ke 21 ini, Aceh juga memiliki beberapa gelar lainnya yang juga mempunyai sejarah masing2. Gelar2  tersebut ialah SERAMBI MEKKAH, DAERAH MODAL, TANAH RENCONG dan BUMI ISKANDAR MUDA.

Julukan Serambi Mekkah diberikan orang kepada Aceh, karena dimasa dulu Aceh merupakan daerah yang sangat kuat semangat ke Islamannya. Daerah Modal diberikan berdasarkan karena Propinsi Aceh merupakan satu-satunya daerah bagian dari wilayah Republik  Indonesia  yang tidak pernah diinjak kaki Belanda lagi, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tanah Rencong diberikan diberikan karena kepahlawanan dan keberanian rakyat Aceh melawan penjajah Belanda dan Jepang. Bumi Iskandar Muda diberikan karena daerah Aceh telah pernah menikmati masa kejayaan dan kebesaran dalam pergaulan dunia Internasional dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (Meukuta Alam).

Dalam rangka memperingati ulang tahun Daerah Istimewa Aceh ke 10 di tahun 1969, A.Hasjmy yang pada tgl 26 Mei 1959 masih sebagai Gubernur Aceh pernah berucap tentang detik2  sejarah menjelang tgl 1959 sebagai berikut ; “Pada waktu mengadakan Musyawarah Pleno tgl 26 Mei 1959 diumumkanlah bahwa titik2  pertemuan telah tercapai, Aceh harus diselamatkan dari kehancuran, dan kepada Aceh diberi status “DAERAH ISTIMEWA”, dengan pemberian hak2  otonom yang luas, terutama bidang Agama, pendidikan dan peradatan. Waktu itu segala kepala tunduk bersyukur, dan ber-pasang-pasang   mata menitikkan air hening. Menjelang magrib tanggal 26 Mei 1959, rapat Pleno terakhir dari Musyawarah yang penting itu ditutup dengan resmi, dan kami semua peserta musyawarah menangis haru sambil ber-salam2an. Pada waktu malamnya diadakan resepsi perpisahan dengan Missi Hardi (dari Pusat/Jakarta-Penulis), para hadirin kelihatan ber-seri2  mukanya ketika diumumkan bahwa musyawarah telah menelurkan hasil2  yang konstruktif….,”.

Tentang kesetiaan rakyat Aceh kepada negara kesatuan Republik Indonesia, memang siapapun tak dapat memungkirinya. Hal ini adalah terbukti sejak masa-masa   Republik Indonesia baru saja diproklamirkan, kesetiaan itu telah ditunjukkan. Sebagai buktinya ialah : Dalam pembukaan musyawarah Alim Ulama Daerah Istimewa Aceh, Kiyai Haji Fatah Jasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama merangkap Menteri Agama Ad Interin mengatakan: “Terlebih dahulu kami sampaikan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bahwa kita pada saat ini dapat menghadiri resepsi Iftitah atau pembukaan dari pada Musyawarah Alim Ulama Daerah Istimewa Aceh ini. Aceh, sebagaimana yang kami kenal pertama dari buku2  sejarah Aceh, kami percaya sampai pada waktu ini, bahwa keistimewaan dari pada Aceh ini akan dipegang seterusnya.

Keistimewaan yang berupa TA’ASUBUDDINI mendarah dan mendaging dalam soal Agama Islam. Sehingga segala hal keistimewaan itu pada waktu revolusi nasional kita, ada hal yang merupakan istimewa pula dari daerah2  lain di seluruh nusantara kita, ialah ; daerah Aceh yang pertama menyumbangkan satu kapal terbang untuk Pemerintah Jokya pada waktu itu”. Demikian diungkapkan oleh K.H.Fatah Jasin dalam upacara pembukaan Musyawarah Alim Ulama Daerah Istimewa Aceh di tahun 1960.

Prof. Dr Slametmuljana ketika menjelaskan keberaniaan rakyat Aceh sewaktu melawan Belanda dulu pernah menulis : “Yang menjiwai patriotisme  pada pejuang Aceh ialah semangat mempertahankan Aceh Raya yang pembentukannya telah dimulai oleh Sultan Iskadar Muda. Patriotisme Aceh yang dilapisi dengan fanatisme agama terbukti tidak gampang dipatahkan oleh kekuatan Barat. Patriotisme yang demikian itu hingga sekarang masih mendarah dan mendaging pada para putra dan putri Aceh”.

Bidang pendidikan yang juga mendapat hak istimewa di daerah ini, sekarang menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Siswa dan pelajar yang lulus tiap akhir tahun, hampir2 tidak sanggup tertampung pada sekolah2  lanjutannya. Khusus bagi Perguruan Tinggi yang berlokasi di Darussalam, mulai tahun 1979 boleh kita katakana  sudah menanjak lebih dewasa. Pembukaan Fakultas Kedokteran di tahun 1979 merupakan bukti kedewasaan itu. Rasanya keistimewaan bidang pendidikan di Aceh tidak sempurna kalau sekiranya Fakultas Kedokteran tidak dibuka hingga hari ini. Sudah hampir dua puluh tahun sejak Darusslam dibuka, putra-putri Aceh terpaksa merantau keluar daerah jika bermaksud melanjutkan study dibidang kedokteran. Pergi keluar daerah merupakan problema yang sukar sekali, disamping akan memerlukan biaya yang sangat tinggi, juga ketabahan dari si mahasiswa harus sanggup bertahan. Karena itu tidak heranlah kalau sampai pada hari ini kita dapat menghitung dengan jari “jumlah dokter putra/putri   Aceh” yang telah berada diarena dunia perobatan sekarang. Rakyat Aceh sungguh berterimakasih pada pemerintah yang telah mewujudkan Fakultas Kedokteran ini, sungguhpun belum menjelma sebagaimana yang kita harapkan, jadi sekali lagi kita ucapkan syukur Alhamdulillah’.

Di bidang agama juga menunjukkan perkembangan yang boleh kita banggakan. Banyak mesjid2  baru yang telah dibangun ditambah lagi dengan sejumlah Mushalla dan Meunasah. Tapi yang sangat disayangkan perkembangan pendidikan agama yaitu pengajian2  secara ‘khas Aceh” nyatanya semakin menghilang dan lenyap. Hal ini memang telah sampai dengan apa yang diramalkan oleh Ulama Besar Teungku Syik Kuta Karang lebih dari seabad yang lalu.

Teungku Syik Kuta Karang (Teungku Syik Di Matang) dalam kitab beliau yang berjudul Akhbarul Karim yang disusun berbentuk syair Aceh pernah menulis dan meramalkan sebagai berikut :

Takoh lason pageui lawah

Tarhat jubah beuneung si naroe

Akhe donya kureung tuah

soh meunasah jeub-jeub nanggroe

Aneuk miet beuet hana sapat

Timu Barat Meunasah sagoe

Nyang na rame barang kapat

oh katrok hat troek bak gantoe

Buleun Sya’ban buleun Ramadhan

Rame sinan Salli aloi

Puasa pih lheueh Fitrah hase

Ma teuduek le Meunasah sagoe

Laen nibaknyan teumpat piasan

Rame sinan Shalli aloi

Meugrum geundrang meutuem bude

Di deugo le siri sagoe

Terjemahan bebas :

Potong Lason pagar lawah

Dibikin jubah dari benang semua

Di akhir masa kurang tuah

Kosong Meunasah tiap-tiap negeri

Anak mengaji jarang terdapat

Timur dan Barat rata negeri

Nyang agak ramai datang di tempat (Meunasah)

Hanya apabila tiba waktunya saja.

Bulan  Sya’ban dan bulan Ramadhan

Ramai disitu bukan kepalang

Puasa tamat fitrahmu selesai

Maka terbengkalailah  Meunasah itu

Selain itu yang ramai lagi di tempat hiburan

Ramai disana tiap ketika

Dam dum gendrang, dentum bedil

Mereka mendengarkan dari mana datang suara.

Demikian ramalan dari Teungku di Matang terhadap perkembangan dari pengajian2  yang telah ada di Aceh sejak dahulu. Sekarang sungguh telah terjelma apa yang dikemukakan dalam ramalan tersebut. Kita merasa prihatin akan perkembangan yang semakin merosot itu.

Kalau sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, di hampir tiap2  Meunasah di Aceh pasti ada pengajian2 yang diadakan kegotongroyongan dari masyarakat di sebuah desa. Pengajian itu ada kalanya diadakan dibiayai oleh rakyat desa secara “meuripe” yaitu dengan dipungut iuran dari tiap-tiap kepala keluarga. Dan bahkan ada pula yang diadakan dengan ke sukarelaan dari ustaz yang mengajar itu. Di zaman itu sungguh banyak Teungku2  di Aceh yang rela mengajar secara sukarela.

Kalau kita meneliti kembali sejarah perkembangan rakyat Aceh yang sangat mematuhi adatnya, maka ternyatalah bahwa semua yang baik itu telah berobah sejak Belanda menjejak kaki di Aceh. Hal ini akan  lebih jelas kalau kita ikuti penjelasan dari Bapak Moehammad Hoesin yang menulis sbb : “Bukan saja bersumpah, tetapi juga dimasa penjajahan Belanda orang Aceh telah berani pula meminum-minuman2  yang memabukkan, meskipun jumlahnya tidak seberapa. Minuman keras dapat dibelinya di-kedai2  yang terdapat dalam kota2. Rumah2  tempat melakukan yang melanggar Hukum Islam dan Adat Aceh, seperti berzina terdapat juga di kota2  dimasa itu. Dimasa pendudukan Jepang perbuatan yang melanggar Hukum dan Adat dimaksud diteruskan juga, sehingga tampaknya lebih buruk dari yang tersebut barusan. Kata2  “sakaj” artinya minuman keras dan “onna” artinya nona, dikenal dengan baik. Tidak malu2  mereka meminum minuman keras itu yang hampir2  tidak pernah terjadi dahulukala. Beruntunglah mulai zaman Republik Indonesia peminum2  itu banyak yang insaf kembali dan balik kembali pada ajaran2  Islam. Perasaan malupun sudah mereka miliki kembali’, demikian tulis Moehammad Hoesin dalam buku beliau  “Adat Aceh”.

MTQ NASIONAL KE XII DI BANDA ACEH.

Sebagaimana mungkin semua anda telah tahu, bahwa di Banda Aceh pada tahun 1981 akan dilangsungkan MTQ Nasional. Di kota Banda Aceh sendiri kita telah dapat merasa dan melihat usaha2  permulaan dari kegiatan2  untuk menyambut peristiwa yang bersejarah nanti. Sudah ber-tahun2 rakyat Aceh menanti-nantikan kapankah kiranya di Bumi Serambi Mekkah ini dapat dilangsungkan/. Mereka ingin dan rindu menatap muka dari wajah2  semua Qari-Qariah dari seluruh Propinsi yang ada di Indonesia. Mereka bersyukur pada Allah, karena nanti Isya Allah semua itu akan terlaksana. Mereka sewaktu tibanya masanya nanti akan mengucapkan selamat datang dan mengelu-elukan kedatangan para peserta MTQ Nasional itu, mereka akan mempersilakan semua tamu2nya untuk melihat dan mempersaksikan segala sesuatu yang ingin mereka lihat disini. Kalau selama ini mereka ada merasa bahwa pasti ada suatu yang unik di Serambi Mekkah, biarlah nanti mereka persaksikan sendiri apa adanya di daerah ini/. Kita dimasa akhir2  ini telah sering membaca berita2  yang bahwa di Aceh khususnya di kota Madya Banda Aceh, pihak yang berwajib sedang giat2nya mengusahakan agar kota Banda Aceh bebas dari semua kemaksiatan baik itu judi, pelacur maupun kemaksiatan lainnya. Kita sungguh mengharapkan agar jangkauan dari kegiatan menghancurkan maksiat ini tidak saja di kota Banda Aceh saja, tapi sedapatnya diperluas hingga mencakup seluruh Daerah Istimewa Aceh dan pula yang paling kita harapkan dari pemimpin2  kita itu agar pembersihan maksiat ini dapat dilaksanakan terus menerus yaitu tidak saja karena mau menyambut MTQ Nasional 1981, tapi sesudah MTQ tsb “feh peunoh” (sama sekali) tidak dijalankan lagi). Kita sebagai warga negara yang baik dari Republik Indonesia yang kita cintai, sudah patut dan sewajarnya memberi partisipasi yang serius bagi pembangunan negara ini dan khususnya bagi kesejahteraan keluarga dan masyarakat disekitar kita masing2.  Mudah2an  masyarakat adil dan makmur akan lekas tercapai. Selamat menyambut ‘Hari Jadi Daerah Istimewa Aceh, tgl 26 Mei 1980”.

Banda Aceh, 26 Mei 1980 / 11 Rajab 1400.

Salam dari Penulis :

T.A. SAKTI

Tinggalkan komentar