Arsip untuk Mei, 2012

SAYA punya keyakinan, orang-orang tua di Cot Pulot Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot, Jeumpa dan Leupeung yang terjadi 56 tahun. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai.

Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.

Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.

Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.

Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.

Koran Peristiwa

Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.

Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal

Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.

Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.

Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.

Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.

Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.

Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.

Penulis :
Murizal Hamzah
Penulis adalah editor Buku Biografi Wakapolri Jusuf Manggabarani, “Cahaya Bhayangkara”.
Sumber : Serambinews.com

Sejarah dan budaya Aceh banyak ditulis oleh kaum orientalis barat. Konon, dokumen sejarah dan budaya Aceh terlengkap tidak dimiliki Aceh, tapi ada di Belanda dalam Atjeh Institute.

Atjeh Institute dibangun pada 31 Juli 1914 atas prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan KB nomor 61 oleh pemerintah Kolonial Belanda.


Tulisan-tulisan tentang Aceh yang ditulis oleh ahli ketimuran, baik dari Belanda maupun penulis-penulis barat yang pernah membuat penelitian di Aceh, semuanya dihimpun di Atjeh Institute tersebut.

Prof Dr Aboe Bakar Atjeh dalam makalah tentang “Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah” yang disampaikan pada seminar kebudayaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua tahun 1972, menyebutkan susunan pengurusan Atjeh Institute ketika itu, Ketua Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje. Sekretaris Dr C Janssen dan Prof J V.Van Werde C J Haselman sebagai Bendahara.

Untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda kala itu dalam usaha menaklukan Aceh, maka berbagai adat dan budaya serta karakteristik masyarakat Aceh diteliti di Atjeh institute. Lalu dibukukan dengan menggunakan bahasa Belanda. Buku-buku yang terlengkap tentang sejarah dan budaya Aceh yang sampai saat ini terpelihara.

Kesungguhan pemerintah kolonial Belanda dalam mendalami dan meneliti karakteristik dan budaya Aceh, tercermin dari pembentukan Atjeh Institute tersebut. Bahkan, Snouck dikirim ke Mekkah untuk mendalami Islam agar lebih mudah berintegrasi dengan masyarakat Aceh dalam melakukan penelitiannya.

Ketika itu orang Aceh menerimanya dan menempatkannya setara ulama. Sebagaimana sejarah mencatat, dimana Snouck sering menjadi khatib dimesjid-mesjid ditempat dia melakukan penelitian. Sehingga Snouck dipanggil oleh orang Aceh saat itu dengan gelar “Teungku Puteh” yang dibermakna ulama dari barat. Padahal dia sebenarnya bukan muslim, melainkan orang yang punya banyak pengetahuan tentang agama islam.

Buah dari investigasi pura-pura Islam Snouck tersebut, maka lahirlah buku budaya Aceh. Ia melakukan penelitian langsung ke Aceh setelah sebelumnya mengumpulkan data-data dari pelawatan Aceh dan Cina yang pernah singgah di Aceh, baik masa Hindu maupun setelah kedatangan Islam. Seperti Dr G A J Hazuee, dan J Kreemer.

Semua biaya penelitian mereka ditanggung oleh Atjeh Institute. Dari penelitian mereka, lahir pulalah buku-buku tentang kebudayaan dan Sejarah zaman keemasan Aceh yaitu buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer dan buku “Encyopedie Van Ned Indie”.

Buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer merupakan yang terluas cakupannya tentang identitas dan budaya rakyat Aceh. Hal itu dilatari kepentingannya menulis buku tersebut yang lebih didominir rasa tanggung jawabnya sebagai pakar sejarah dari pada kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Sementara dari kalangan jurnalis, muncul H C Zentgraaf, redaktur Kepala surat kabar Java Bode. Mantan serdadu Belanda yang pernah ikut dalam perang Aceh, setelah pensiun dari militer dan bekerja sebagai wartawan perang. Ia menulis tentang kebrutalan serdadu Moersose bentukan Belanda dalam memerangi rakyat Aceh.

Rangkuman dari pengalamannya itulah yang kemudian dikumpulkan dealam buku “Atjeh”. Zentgraaf dengan gamblang menulis tentang karakteristik, keperkasaan serta ketangguhan rakyat Aceh dalam menghadapi serangan Belanda. Zentgraaf tidak segan-segan mencela bangsanya (Belanda-red) sendiri yang terlalu arogan.

Buku Zentgraaf tersebut dengan berani diterbitkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda masih menguasai nusantara, banyak kritikus menilai buku tersebut merupakan gondam yang memukul pemerintah Belanda kala itu.

Pada masa itu ada juga beberapa penulis lainnya, yang menulis tentang Aceh, diantaranya, Van Veer, Van Graaff, van Den Plass, Van Den Nomensen, semuanya dari Belanda. Kemudian Prof. Dr Griff dari Inggris, Marcopolo dari Spanyol, dan Prof Dr. Wit Shing dari Cina.

Soal dokumentasi budaya, rakyat Jawa lebih beruntung, atas prakarsa almarhum Prof Dr DA Husein Djajninggrat berhasil melobi pemerintah kolonoal Belanda untuk membangun Java Institute di Yogyakarta dengan Museum Sono Budoyo dan majalah Jowo. Sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

Begitu juga di Surakarta walau tidak begitu lengkap, masih mempunyai pusat kebudayaan yang mencerminkan karakteristik daerahnya. Pusat kebudayaan yang dikenal Radio Putoko itu terdapat di lokasi latihan dan manifestasi kebudayaan yang dinamai Taman Sriwidari.

Namun Aceh, karena keunikannya dan oleh Belanda Atjeh Institute tidak dibangun di Aceh, melainkan di negeri Belanda. Karena Belanda menilai sangat penting dokumentasi tentang Aceh ketimbang daerah lainnya di nusantara yang berhasil ditaklukkannya.
Diplomasi 1602

Ketertarikan Belanda Terhadap Aceh sudah dimulai sejak diplomat Aceh, Abdul Hamid mengunjungi Belanda, yang konon katanya merupakan diplomat pertama dari asia yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Belanda waktu itu.

Abdul Hamid diutus oleh Sultan Alauddin Al Mukamil ke negeri kincir angin tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Menurut Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.

Namun, sejak 18 Agustus 1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi ancaman bagi perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, dan Bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari hal tersebut. Akan tetapi tetap menjaga hubungan dengan Portugis.

Persaingan dagang kemudian membuat hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.

Malah, pada tahun 1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira mengancam dengan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak dagang dengan Aceh. Aceh dan Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di selat Malaka.

Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.

Selanjutnya, menurut Prof Dr H Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599–saat itu Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah.

Orang pertama Belanda yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan dua kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan Aceh.

Menyadari adanya misi dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya, Portugis tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu itu Portugis bermusuhan dengan Belanda.

Raja Aceh pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal maka Cornelis pun kemudian dibunuh. Sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.

J Kreemer, seorang penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menjelaskan, pada November 1600 Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie untuk merintis hubungan dagang dengan Aceh.

Paulus van Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.

Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa tersebut terangkum dalam De Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V Caerden, dalam buku J.E Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.

Pun demikian, Belanda terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah ke Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam perdagangan ingin direbut Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda terus saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang hubungan dagang antara Aceh dan Portugis jadi putus.
Hubungan Dagang

Hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi terjalin pada tahun 1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh yang merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.

Pedagang-pedagang dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut datang dari misi dagang Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuw yang merupakan sebuah eskader dari Middelburg.

Utusan Raja Belanda itu ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh. Sementara Frederick de Houtman dan teman-temanya yang ditahan oleh Sultan Aceh dibebaskan.

Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah Leonard Werner.

Rombongan ini tiba di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan mereka disambut besar-besaran. Pada 9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta Aceh dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut kemudian ditulis oleh Dr J J F Wap dalam buku “Het gezantschap van den sultan van Achin (1602) aan Print Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862.

Penulis & Sumber : Iskandar Norman

MACHMUD – KHADAM MAKAM SYIAH KUALA

“SAYA khadam dari keturunan yang kedelapan,” kata lelaki itu. Dia mengenakan sarung, kemeja muslim dan kopiah hitam.

Pintu gerbang makam Syiah Kuala

Ucapannya bernada bangga sekaligus hormat. Sebab hanya orang dan keturunan tertentu yang mendapat hak waris sebagai khadam. Dalam bahasa Arab dan Melayu, khadam sebutan untuk orang yang menjadi juru kunci. Tugasnya menjaga dan memelihara makam.

Makam Syiah Kuala yang terletak di Jln. Lamdingin Desa laut Syiah Kuala Banda Aceh.

Makam yang dia jaga adalah makam orang yang dikenal saleh, berilmu, dan mulia. Makam itu tempat peristirahatan terakhir ulama besar Aceh dan pemimpin tarekat Sattariyah, Syeh Abdurrauf bin Ali Al Fansuri Assingkili. Masyarakat lebih mengenal sang ulama dengan nama Syiah Kuala. Dia menjabat sebagai Kadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675), Nakiatuddin Syah (1675-1678), Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan Kamalat Syah (1688-1699).

Machmud adalah pensiunan pegawai negeri di Dinas Sumberdaya Air, Banda Aceh. Hampir tiap hari dia datang ke pemakaman, mulai jam delapan pagi sampai enam sore. Jabatannya adalah koordinator ahli waris juru kunci pemakaman. Tiap Senin dan Kamis, dia menerima puluhan bahkan ratusan peziarah. Dalam sepekan dia hanya libur pada hari Jumat.

Machmud menggantikan khadam Syiah Kuala sebelumnya, Abdurrahman Ibrahim, lewat musyawarah para ahli waris. Abdurrahman tak lain adalah abang kandung Machmud.

Ketika tsunami menggulung Aceh, gelombang itu menghancurkan benda-benda dan memusnahkan mereka yang hidup. Abdurrahman bersama istri dan empat anaknya tak terkecuali. Keluarga itu tinggal di gampong Deah Raya, kecamatan Syiah Kuala. Rumah mereka tak jauh dari kompleks pemakaman.

Tak satu pun rumah penduduk tersisa di gampong itu. Yang selamat hanya makam Syiah Kuala yang terletak dua puluh meter dari tanggul.

Kondisi makam rusak berat. Pagar besi pelindung bengkak-bengkok. Tanah amblas. Namun posisi batu-batu yang melindungi makam nyaris tak berubah. Satu nisan masih berdiri tegak, satu lagi patah. Nisan-nisan lain rebah dan berserak di sekeliling makam sang ulama. Terpisah dari kuburan masing-masing.

Saat melewati makam itu, wangi melati tercium dari di tepi utara. Tapi saya tak melihat bekas taburan melati di sekeliling makam. Pohon melati pun tak ada. Beberapa pokok bakau terletak sekitar 50 meter dari pemakaman. Tanah gersang. Tambak-tambak rusak. Panas matahari membakar kulit. Dan laut luas begitu dekat dari sini.

Pagi itu saya ditemani Muhammad Isa, pengemudi becak-mesin yang mengantar saya ke pemakaman, dan tiga orang peziarah. Juru kunci makam belum datang.

Saya tak percaya dengan penciuman sendiri, lalu bertanya kepada Isa.

“Bang, abang mencium wangi melati?”

“Iya, wangi.” Isa mengendus-endus, mencari sumber bau tersebut.

Tiga peziarah itu pun mengalami hal serupa. Mereka mencium aroma melati saat mendekati makam. Mungkinkah ada orang yang sengaja menyiram parfum ke makam?

Minggu berikutnya saya kembali lagi ke situ dan mencium wangi yang sama.

“Tidak… tidak pernah ada yang menyiram minyak wangi ke makam,” kata Machmud, juru kunci makam.

Tapi, ah, saya tak ambil pusing. Saya kembali berkeliling makam, mengamati situs bersejarah yang rusak itu.

PADA 29 Januari 2006 lalu, penjabat Gubernur Mustafa Abubakar menyatakan, pemerintah daerah telah menyediakan dana sebesar Rp 1,5 miliar untuk memperbaiki kompleks pemakaman. Dia datang bersama para pejabat daerah.

Di lain hari, ketika Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mendatangi tempat itu, dia juga menjanjikan hal yang sama: membantu merekonstruksi makam.

“Tapi sampai sekarang belum ada realisasinya,” ujar Machmud.

Ruang kerja Machmud berdinding tripleks dan beratap seng, bersebelahan dengan makam. Di ruang itu pula dia menerima dan mencatat nama peziarah yang datang.

“Selama ini pemeliharaan dan perawatan kami lakukan sendiri. Pembangunan pagar juga dari dana kita sendiri.”

Entah bermaksud menyinggung pemerintah atau tidak, sebuah papan besar memuat tulisan yang meminta perhatian pemerintah. Bunyinya, “Sejauh mana perhatian pemerintah terhadap makam yang sangat bersejarah ini.… Marilah kita sama-sama menjaga, memelihara serta merawatnya agar tetap utuh sepanjang masa. Jangan sampai jatuh ke laut.”

Tiba-tiba seorang ibu bersama anaknya memberi salam dan masuk. Mereka membawa karung putih berisi seekor ayam berbulu putih. Dalam bahasa Aceh, Machmud menanyakan maksud kedatangan si ibu. Ibu itu memperkenalkan diri sebagai Nurhayati binti Usman. Anak laki-lakinya yang berusia sekitar empat tahun itu bernama Adlan Kamal.

“Saya memenuhi nazar untuk anak saya yang baru sembuh dari sakit.” Machmud menerjemahkan kepada saya. Tak berapa lama, Machmud menjelaskan apa arti nazar dan bagaimana seharusnya nazar dilakukan. Dia juga menerangkan bahwa tiap peziarah yang datang, termasuk sang ibu, dilarang meminta apapun kepada almarhum Syiah Kuala.

“Karena itu namanya syirik. Mintalah hanya kepada Allah yang Mahakaya,” ujar Machmud.

Nurhayati menyerahkan ayam kepada Machmud sebelum pamit pulang. Machmud sempat memotret ibu dan anak itu dengan kamera digital sebagai dokumentasi.

Menurut Islam, nazar berarti mewajibkan diri-sendiri melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tujuannya mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa hukum melaksanakan nazar atau melaksanakan sesuatu sesuai dengan yang telah dinazarkan adalah wajib.

“Mengapa banyak orang memenuhi nazarnya di makam Syiah Kuala, tidak di tempat lain?” tanya saya pada Machmud.

“Memang banyak tempat lain. Tapi menurut pengakuan mereka, lebih yakin melakukannya di sini daripada di tempat lain. Dan sesuatu yang diikuti dengan keyakinan akan lebih afdhal (utama) dikerjakan.”

“Dengan apa saja warga biasanya bernazar?”

“Apa saja. Ibu tadi dengan seekor ayam. Yang kaya ada yang bernazar dengan kambing. Mereka yang tidak mampu bisa dengan mengerjakan salat sunat. Pokoknya disesuaikan dengan kemampuan dia.”

Orang-orang yang bernazar datang dari berbagai kalangan. Kepala Kepolisian Resor Aceh Tamiang, Ajun Komisaris Besar Polisi Agus Djaka Santoso, belum lama ini memenuhi nazarnya.

“Dia bernazar agar segera dipromosikan jadi kapolres, dan terkabul. Setelah dilantik sekitar seminggu lalu dia memenuhi nazarnya dengan memotong seekor kambing,” kisah Machmud.

Dia memperlihatkan foto kambing milik Kapolres Aceh Tamiang itu sebelum disembelih. Bulunya hitam pekat. Badannya gemuk. Setelah dikuliti, biasanya daging dan tulang kambing dimasak di tempat yang tak jauh dari makam Syiah Kuala. Warga setempat dan peziarah akan menyantap masakan itu bersama-sama.

Dalam buku tamu Machmud, hingga pertengahan 2006 ini sudah tercatat 105 ekor kambing yang disembelih untuk memenuhi nazar.

Banyaknya warga yang berziarah membuat makam tak pernah sepi. Beberapa pekan setelah tsunami, dalam sehari jumlah pengunjung mencapai seribu orang. Selain berziarah, pengunjung kerap memberi sumbangan.

“Pak Muhammad Anshari dari Bekasi Utara menyumbang Rp 10 juta untuk menata kembali batu-batu nisan.” Machmud menunjukkan catatannya.

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berniat mengunjungi makam Syiah Kuala, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso memerintahkan anak buahnya membangun bale, semacam tempat istirahat sementara. Namun ketika bangunan panggung bercat hijau itu rampung, SBY tak kunjung menepati niatnya.

Tapi berkah dari makam Syiah Kuala terus berlanjut. Bahkan tukang becak-motor, seperti Bang Isa, tak luput dari rezeki. Soalnya, jarak dari jalan utama ke pemakaman lumayan jauh, antara tiga hingga lima kilometer. Peziarah butuh sarana untuk mencapai makam. Ditambah lagi, jalan berlubang dan belum diaspal. Debu beterbangan.

“Rata-rata sehari saya bisa dapat Rp 40 ribu,” kata Isa yang tinggal di barak daerah Lambaro Skep, tak jauh dari pemakaman.

Jumlah itu jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup istri dan delapan anaknya. Tapi, dia mengaku masih beruntung memperoleh pemasukan.

Bagaimana dengan Machmud? Siapa yang menggaji dia untuk menjaga makam?

“Ya dari dana amal.”

“Dari pemerintah?”

“Tidak… tidak ada.” Machmud menggelengkan kepala.

—————————————————————————————————

IBRAHIM DAN MARIANI PENGURUS RUMOH CUT NYAK DHIEN

DARI makam Syiah Kuala yang terletak di utara kota Banda Aceh, saya pergi ke barat. Saya menuju peninggalan sejarah yang terletak di ruas jalan utama Banda Aceh-Meulaboh atau tepatnya, jalan menuju pantai Lhok Nga.

Rumoh Cut Nyak Dhien

Saya menjumpai Ibrahim Yusuf dan Mariani. Mereka punya kewajiban tak kalah besar bagi bangsa Aceh. Secara bergantian mereka menjaga dan merawat satu-satunya rumah peninggalan Cut Nyak Dhien, pejuang Aceh. Kendati penjajah Belanda membuang Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat, hingga akhir hayatnya, orang Aceh tak pernah melupakan dia.

Di rumah itu pula Cut Nyak Dhien pernah hidup bersama suami tercinta Teungku Umar, yang kemudian gugur mendahuluinya. Teungku Umar memimpin rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda.

Rumah panggung bercat hitam, memanjang dan menghadap ke utara. Tinggi tiang-tiang penyangga mencapai dua meter. Atap terbuat dari daun nipah kering. Lantai dan dinding dari kayu ulin atau kayu besi. Pokok-pokok nangka jadi tiang penyangga. Usianya sekitar 200 tahun. Pada 1896, rumah ini dibakar Belanda dan pada 1981 direnovasi pemerintah Indonesia.

Ruang dalam cukup luas. Di serambi muka, pengunjung dapat melihat potret-potret bersejarah ketika pasukan marsose atau tentara Belanda menyerbu kampung dan gagal menangkap Teungku Umar. Potret pasukan Teungku Umar yang merusakkan rel kereta api milik Belanda juga dipajang di dinding. Potret terakhir di dinding kanan adalah potret Cut Nyak Dhien. Rahangnya kukuh. Garis wajahnya tegas.

Potret-potret itu merupakan reproduksi dari dokumentasi asli yang disimpan di Leiden, Belanda.

Antara serambi muka dan belakang terdapat dua kamar dayang-dayang. Kamar Cut Nyak Dhien berada di sebelah timur, diapit ruang tamu utama dan ruang rapat. Lapisan kain kelabu di ranjang Cut Nyak Dhien sebagian masih asli.

Ruang makan bersebelahan dengan kamar pembantu. Di sekeliling ruang makan terdapat lemari kaca yang menyimpan senjata-senjata tajam, seperti pedang, tombak, maupun rencong. Senjata-senjata ini ditemukan dalam tanah, tepat di bawah rumah, ketika renovasi berlangsung.

Ketika tsunami datang, rumah Cut Nyak Dhien jadi tempat berlindung sekitar 800 warga, orang dewasa dan anak-anak. Air tak sampai membenam lantai. “Sedikit lagi air masuk. Batas air cuma beberapa senti di bawah lantai,” kisah Ibrahim Yusuf pada saya.

Konstruksi bangunan cukup kokoh. Tak ada kayu yang patah atau retak.

“Hanya atap saja yang dirapikan dan ditambah yang baru, karena waktu tsunami ada yang naik sampai ke atas sana dan asap jadi bergeser,” katanya, lagi.

Namun, gedung pustaka yang berada di sebelah barat rumah ini rusak berat. Ratusan buku sejarah Cut Nyak Dhien, Teungku Umar, Panglima Polem, Teungku Chik Di Tiro, dan pejuang-pejuang kerajaan Aceh hanyut dibawa air. Kini bangunan tersebut kosong-melompong.

Ibrahim dan Mariani bekerja keras membersihkan sampah dan lumpur bekas tsunami di sekeliling rumah. Keduanya sama-sama keturunan penjaga rumah. Mereka tinggal bertetangga. Ibrahim bersama istri dan seorang anak, sedangkan Mariani sudah hampir lima tahun menjanda.

Sayang sekali, perjuangan Ibrahim dan Mariani menjadi penjaga, pengelola sekaligus pemandu bagi pengunjung yang datang tak sebanding dengan honor maupun perhatian pemerintah untuk mereka.

Ketika diangkat jadi penjaga rumah pada 1991, mereka diupah Rp 15 ribu. Kini, setelah 15 tahun merawat rumah pasangan pahlawan kebanggaan bangsa Aceh, upah mereka hanya naik sepuluh kali lipat. Ya, tiap bulan mereka hanya mendapatkan Rp 150 ribu. Itu pun tersendat-sendat.

“Sudah empat bulan honor kami belum dibayar. Saya sudah bolak-balik menanyakan, tapi jawabannya selalu masih menunggu dana dari pusat,” ungkap Ibrahim.

“Sebenarnya sangat tidak cukup, walau untuk kebutuhan sendiri. Apalagi setelah tsunami barang-barang di sini sudah mahal. Tapi, mau tidak mau harus dicukupkan,” Mariani menimpali.

Mereka berdua tak jarang harus menanggung beban biaya listrik. Menurut Ibrahim, tiap bulan rekening listrik untuk penerangan rumah dan taman nyaris menyamai upah gabungan dia dan Mariani, “Antara Rp 200 ribu sampai 250 ribu.”

“Dananya kami kumpulkan dari sumbangan tamu-tamu yang datang. Itu pun kami tidak meminta,” ujar Ibrahim.

—————————————————————————————————

AMIN YUSUF PENJAGA BENTENG INDRA PATRA

AMIN Yusuf punya nasib nyaris serupa. Lelaki berusia sekitar 50 tahun itu bekerja menjadi penjaga Benteng Indra Patra di Lamdong, Krueng Raya. Lokasinya sekitar 33 kilometer dari Banda Aceh ke arah timur.

Benteng Indra Patra dibangun oleh keturunan Raja Harsya dari India Selatan pada 604 Masehi. Semula bangunan ini merupakan tempat tinggal keluarga raja dan digunakan untuk kegiatan ritual. Namun, ketika pasukan Iskandar Muda merebutnya dari Portugis, peninggalan kerajaan Hindu tersebut berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan senjata, seperti meriam dan bedil.

Seperti juga makam Syiah Kuala, dua benteng dari semen dan batu sungai ini terletak di bibir pantai Selat Malaka. Tinggi masing-masing benteng enam meter. Tapi tsunami merontokkan pagar tembok yang mengelilinginya.

Saya terpaksa ekstra hati-hati ketika menuju kawasan benteng. Banyak ‘ranjau darat’ di sana-sini. Baunya cukup menusuk. Ternyata yang berkunjung bukan hanya manusia, gerombolan kerbau dan sapi juga tak mau ketinggalan.

“Sejak tak ada pagar, binatang-binatang itu keluar-masuk sesukanya,” tutur Amin kepada saya. Sejak dihantam tsunami, menurut Amin, tidak ada upaya pembangunan pagar.

Sebagai penjaga benteng yang konon dibangun pada abad ke-7 itu, Amin hanya diupah Rp 150 ribu per bulan. Seperti Ibrahim dan Mariani, tak setiap bulan dia menerima honor. Padahal rasa lapar dan kebutuhan keluarga tak bisa ditahan-tahan.

“Semula anak saya, Emisa yang menjaga, tetapi sejak tiga tahun lalu dia kerja sebagai kenek truk di Medan. Satu kali trip dia bisa dapat Rp 150 ribu.”

Di masa konflik, tempat ini sepi pengunjung. Lamdong kerap jadi daerah operasi tentara Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua warga bahkan ditembak mati gara-gara dituduh mata-mata tentara Indonesia. Amin sempat ditahan sehari di markas Komando Distrik Militer. Dia juga pernah dihajar anggota Brigadir Mobil.

“Tapi lebih baik dipukul tentara daripada harus berhadapan dengan GAM,” kata Amin, mengutip komentar penduduk setempat.

Setelah kesepakatan damai pemerintah Indonesia dan GAM, benteng tersebut kembali ramai dikunjungi orang. Amin kemudian membuka warung makanan dan minuman. Hasilnya bisa lebih banyak dari honornya sebagai penjaga benteng.

Tapi kepada pengunjung Amin berpesan, “Kalau mau datang dan duduk di semak-semak harus bawa surat nikah. Berkunjung boleh, tapi jangan bikin perbuatan yang tidak-tidak. Karena orang kampung yang bisa terkena bala!”

—————————————————————————————————
MUHAMMAD YAHYA PEMANDU SITUS TAMAN SARI GUNONGAN

( TAMAN GAIRAH )

BANGUNAN bersejarah di Aceh dan Sumatera Utara berada di bawah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor di Jalan Teuku Umar, di pusat kota Banda Aceh. Di kompleks kantor itu juga terdapat peninggalan bersejarah.

Pinto Khop

Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah namanya. Taman ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) berkuasa. Bangunan berbentuk replika gunung di tengah taman konon terbuat dari putih telur. Sultan mempersembahkan seisi taman tersebut untuk permaisurinya yang berasal dari Pahang.

Gunongan

Di situ saya menemui Muhammad Yahya yang juga salah seorang juru kunci dan pemandu situs Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah. Tapi lagi-lagi, nasib Yahya tak berbeda jauh dengan juru kunci di bangunan bersejarah lainnya. Honor ekstra minim.

“Kalau saya masih muda, mana mau saya kerja di sini,” ujar Yahya pada saya. Usianya sudah lebih dari 60 tahun. Rambut keperakan. Dia pensiunan tentara. Pangkat terakhirnya sersan kepala. “Tapi karena tak ada pekerjaan lain, ya terpaksa dijalani.”

Insa Anshari, kepala BP3, tak bisa berbuat banyak.

“Dana kita memang minim.” Insa berterus terang.

Menurut dia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tiap tahun hanya memberi anggaran Rp 130 juta kepada kantornya. Pengeluaran terbesar digunakan untuk membayar honor para juru kunci situs yang berada di Aceh dan Sumatera Utara. Total jumlah mereka 168 orang. Sedangkan jumlah anak buah Insa sebanyak 29 orang.

Jika dihitung, dalam setahun total pengeluaran untuk honor para juru kunci mencapai Rp 300 juta! Itu belum termasuk dana rekonstruksi dan rehabilitasi situs-situs bersejarah yang rusak akibat gempa dan tsunami.

Lantas apa upaya Insa menutupi sisa kebutuhan anggaran?

“Kita sudah minta ke pusat, tapi sepertinya wakil rakyat di Jakarta kurang memahami apa arti sejarah. Untuk rekonstruksi kita sudah minta bantuan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias), tapi belum ada respon. Kita menyadari, mungkin sementara ini prioritas rekonstruksi dan rehabilitasi lebih kepada penduduk yang jadi korban tsunami. Saya dan beberapa pegawai di sini juga menjadi korban tsunami, tapi belum dapat bantuan perbaikan rumah.”

RUPANYA nasib juru kunci dengan situs sejarah yang mereka rawat setali tiga uang: kerap dilupakan. Saya teringat ucapan salah seorang tokoh dalam karya Karl May yang berjudul Dan Damai di Bumi. May pernah mengunjungi Pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja di akhir abad ke-19. “Mereka yang tidak menghargai masa lalu, juga tidak berharga untuk masa depan,” kata penulis serial Old Shatterhand ini.

Tapi Machmud, penjaga makan Syiah Kuala, tidak akan melupakan sejarah yang pernah membuat Aceh berjaya. Dia tak gentar jika bencana kembali berulang, apalagi sekedar minimnya dana. Dia berupaya menjaga, memelihara serta merawat warisan yang dipercayakan padanya.

“Kita berupaya sejauh kita bisa,” tegas Machmud.

Penulis & Sumber : Samiaji Bintang adalah kontributor Aceh Feature 14 Juni 2006 di Aceh.

Tahukah Anda bahwa bulan Mei ini ultah ke 21 :

26 Mei 1959 – 26 Mei 1980

Oleh : T.A.SAKTI

Bulan  Mei  merupakan bulan yang istimewa bagi   bangsa Indonesia. Di bulan Mei ini kita berhadapan dengan dua peristiwa sejarah yang dirayakan secara nasional dan satu peristiwa sejarah, khususnya bagi daerah Istimewa Aceh. Hari bersejarah secara nasional yaitu Hari Pendidikan Nasional ( 2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Sementara Hari Besar bagi kita di Aceh ialah tgl 26 Mei yaitu HARI LAHIR DAERAH ISTIMEWA ACEH, inilah yang kita peringati melalui tulisan ini.

TANGGAL 26 Mei adalah hari yang sangat penting’ bagi kita rakyat Indonesia yang berada di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, karena pada hari inilah Pemerintah Pusat memberikan secara resmi gelaran atau julukan DAERAH ISTIMEWA bagi Aceh. Kita memperingati hari yang bersejarah ini, bukanlah bertujuan membanggakan bahwa kita super dari daerah lain, tapi hanya sekedar mengingatkan kita akan masa-masa sukar di waktu silam, dengan peringatan ini kita harapkan supaya partisipasi kita dalam pembangunan manusia Indonesia yang se-utuhnya itu akan lebih bergairah lagi.

Tulisan ini juga sekaligus memperingati ‘genap satu abad usia Hikayat Prang Sabi’ yang jatuh pada tahun 1980 ini. Hikayat Prang Sabi sangat berjasa bagi kita, karena dengannya telah menggelorakan semangat perjuangan rakyat Aceh, ketika menentang penjajahan Belanda dulu. Hikayat Prang Sabi ini dikarang oleh Teungku Syik Pante Kulu dan beberapa Ulama lainnya dalam tahun 1880. Maka sudah sewajarnyalah apabila Pemerintah Indonesia khususnya Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, mengadakan upacara peringatan yang ‘sesuai” dengan jasa yang telah disumbangkan oleh Hikayat Prang Sabi ini dan juga mempertimbangkan pemberian “gelar kehormatan” kepada pengarang dari Hikayat Prang Sabi yaitu Teungku Syik Pante Kulu pada tahun 1980 ini. Semoga janganlah nanti ada dari anak-anak   cucu kita yang mencap kita sebagai bunyi pepatah ; “Kacang yang lupa kulitnya”.

Sejak tgl 26 Mei tahun pertama peresmian Hari Daerah Istimewa Aceh sampai sekarang, kita selalu mendengar dan membaca bahwa apabila orang menyebut daerah Aceh selalu diiringi dengan embel-embel   ‘Istimewa’ disampingnya, lebih-lebih   kalau dalam peristiwa2  resmi. Gubernur Aceh Prof HA Madjid Ibrahim menyatakan bahwa daerah Aceh mempunyai keistimewaan dalam tiga hal ; istimewa dalam bidang pendidikan, istimewa dalam bidang keagamaan dan bidang peradatan. Dalam bidang keagamaan, kita sebagai hamba Allah, marilah lebih meningkatkan penghayatan kepada dalil2  keagamaan dalam rangka meningkatkan peribadatan masing2 . Hal itu dinyatakan baru2  ini dalam sambutannya pada upacara penyambutan abad ke 15 Hijriyah, bertempat di SD Inpres Lamlhom, Lhok Nga Kabupaten Aceh Besar” (Waspada,  4 Des 1979).

Pemberian atau penganugerahan Daerah Istimewa bagi Aceh, bukanlah tanpa landasan, tapi ia punya landasan berpijak yang kuat sekali di negara kita yaitu Undang-undang Dasar 1945. Hal ini tercantum dalam pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi ; “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa”.

Ketika memperingati Ulang Tahun ke sepuluh Hari Daerah Istimewa Aceh, Panglima KODAM I Iskandar Muda, Brigadir Jenderal TNI T.Hamzah (kini almarhum) pernah mengatakan ; “Hak asal-usul yang bersifat hidup dan bersifat istimewa di daerah Aceh, adalah pandangan hidup rakyatnya yang telah turun temurun dan tetap dijaga-dihormati, yaitu ; kebaktiannya kepada ALLAH, hidup beramal, mati beriman. Berarti adat peri hidup, peri laku, tutur kata dan perbuatan rakyat Aceh se-hari2  adalah bersendikan kepada agama, sebagaimana telah digambarkan oleh hadis majanya ; Adat bersendikan syara’-syara’ bersendikan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Dalam hal ini telah merupakan kesadaran hukum adat atau hukum rakyat. Tegas menunjukkan, bahwa adat dengan syara’ bagi rakyat Aceh adalah seperti zat dengan sifat yang tidak terpisahkan. Apa yang dikatakan syara’ atau ajaran agama itulah yang dikerjakan dan demikianlah pelaksanaannya, demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi Adat peri laku hidup rakyat Aceh se-hari2  adalah sesuai dengan ajaran Islam. Sedang ajaran Islam ini bersumber dari kitabullah yaitu Qur ‘anulkarim dan Sunnah Rasul. Apa yang dimaksud dengan mengamalkan ajaran agama, adalah melaksanakan ajaran Tuhan, mengambil isinya, bukan merek dan kulit. Tegasnya mengamalkan ajaran Islam. Maka sesuai dengan kondisi dan aspirasi rakyat yang hidup dan telah berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat sehari2  serta berdasarkan dan mengindahkan hak-hak   asal usul yang hidup dan bersifat istimewa di Daerah Aceh, maka oleh Pemerintah Pusat dengan Keputusan Perdana Menteri R.I tgl 26 Mei 1959 telah memberikan status ke-istimewaan bagi Propinsi Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dengan keistimewaannya dibidang agama, peradatan dan pendidikan’. demikian kata. T.Hamzah yang menjadi Panglima KODAM I itu. Disamping julukan Daerah Istimewa yang sedang kita peringati ulang tahunnya yang ke 21 ini, Aceh juga memiliki beberapa gelar lainnya yang juga mempunyai sejarah masing2. Gelar2  tersebut ialah SERAMBI MEKKAH, DAERAH MODAL, TANAH RENCONG dan BUMI ISKANDAR MUDA.

Julukan Serambi Mekkah diberikan orang kepada Aceh, karena dimasa dulu Aceh merupakan daerah yang sangat kuat semangat ke Islamannya. Daerah Modal diberikan berdasarkan karena Propinsi Aceh merupakan satu-satunya daerah bagian dari wilayah Republik  Indonesia  yang tidak pernah diinjak kaki Belanda lagi, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tanah Rencong diberikan diberikan karena kepahlawanan dan keberanian rakyat Aceh melawan penjajah Belanda dan Jepang. Bumi Iskandar Muda diberikan karena daerah Aceh telah pernah menikmati masa kejayaan dan kebesaran dalam pergaulan dunia Internasional dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (Meukuta Alam).

Dalam rangka memperingati ulang tahun Daerah Istimewa Aceh ke 10 di tahun 1969, A.Hasjmy yang pada tgl 26 Mei 1959 masih sebagai Gubernur Aceh pernah berucap tentang detik2  sejarah menjelang tgl 1959 sebagai berikut ; “Pada waktu mengadakan Musyawarah Pleno tgl 26 Mei 1959 diumumkanlah bahwa titik2  pertemuan telah tercapai, Aceh harus diselamatkan dari kehancuran, dan kepada Aceh diberi status “DAERAH ISTIMEWA”, dengan pemberian hak2  otonom yang luas, terutama bidang Agama, pendidikan dan peradatan. Waktu itu segala kepala tunduk bersyukur, dan ber-pasang-pasang   mata menitikkan air hening. Menjelang magrib tanggal 26 Mei 1959, rapat Pleno terakhir dari Musyawarah yang penting itu ditutup dengan resmi, dan kami semua peserta musyawarah menangis haru sambil ber-salam2an. Pada waktu malamnya diadakan resepsi perpisahan dengan Missi Hardi (dari Pusat/Jakarta-Penulis), para hadirin kelihatan ber-seri2  mukanya ketika diumumkan bahwa musyawarah telah menelurkan hasil2  yang konstruktif….,”.

Tentang kesetiaan rakyat Aceh kepada negara kesatuan Republik Indonesia, memang siapapun tak dapat memungkirinya. Hal ini adalah terbukti sejak masa-masa   Republik Indonesia baru saja diproklamirkan, kesetiaan itu telah ditunjukkan. Sebagai buktinya ialah : Dalam pembukaan musyawarah Alim Ulama Daerah Istimewa Aceh, Kiyai Haji Fatah Jasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama merangkap Menteri Agama Ad Interin mengatakan: “Terlebih dahulu kami sampaikan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bahwa kita pada saat ini dapat menghadiri resepsi Iftitah atau pembukaan dari pada Musyawarah Alim Ulama Daerah Istimewa Aceh ini. Aceh, sebagaimana yang kami kenal pertama dari buku2  sejarah Aceh, kami percaya sampai pada waktu ini, bahwa keistimewaan dari pada Aceh ini akan dipegang seterusnya.

Keistimewaan yang berupa TA’ASUBUDDINI mendarah dan mendaging dalam soal Agama Islam. Sehingga segala hal keistimewaan itu pada waktu revolusi nasional kita, ada hal yang merupakan istimewa pula dari daerah2  lain di seluruh nusantara kita, ialah ; daerah Aceh yang pertama menyumbangkan satu kapal terbang untuk Pemerintah Jokya pada waktu itu”. Demikian diungkapkan oleh K.H.Fatah Jasin dalam upacara pembukaan Musyawarah Alim Ulama Daerah Istimewa Aceh di tahun 1960.

Prof. Dr Slametmuljana ketika menjelaskan keberaniaan rakyat Aceh sewaktu melawan Belanda dulu pernah menulis : “Yang menjiwai patriotisme  pada pejuang Aceh ialah semangat mempertahankan Aceh Raya yang pembentukannya telah dimulai oleh Sultan Iskadar Muda. Patriotisme Aceh yang dilapisi dengan fanatisme agama terbukti tidak gampang dipatahkan oleh kekuatan Barat. Patriotisme yang demikian itu hingga sekarang masih mendarah dan mendaging pada para putra dan putri Aceh”.

Bidang pendidikan yang juga mendapat hak istimewa di daerah ini, sekarang menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Siswa dan pelajar yang lulus tiap akhir tahun, hampir2 tidak sanggup tertampung pada sekolah2  lanjutannya. Khusus bagi Perguruan Tinggi yang berlokasi di Darussalam, mulai tahun 1979 boleh kita katakana  sudah menanjak lebih dewasa. Pembukaan Fakultas Kedokteran di tahun 1979 merupakan bukti kedewasaan itu. Rasanya keistimewaan bidang pendidikan di Aceh tidak sempurna kalau sekiranya Fakultas Kedokteran tidak dibuka hingga hari ini. Sudah hampir dua puluh tahun sejak Darusslam dibuka, putra-putri Aceh terpaksa merantau keluar daerah jika bermaksud melanjutkan study dibidang kedokteran. Pergi keluar daerah merupakan problema yang sukar sekali, disamping akan memerlukan biaya yang sangat tinggi, juga ketabahan dari si mahasiswa harus sanggup bertahan. Karena itu tidak heranlah kalau sampai pada hari ini kita dapat menghitung dengan jari “jumlah dokter putra/putri   Aceh” yang telah berada diarena dunia perobatan sekarang. Rakyat Aceh sungguh berterimakasih pada pemerintah yang telah mewujudkan Fakultas Kedokteran ini, sungguhpun belum menjelma sebagaimana yang kita harapkan, jadi sekali lagi kita ucapkan syukur Alhamdulillah’.

Di bidang agama juga menunjukkan perkembangan yang boleh kita banggakan. Banyak mesjid2  baru yang telah dibangun ditambah lagi dengan sejumlah Mushalla dan Meunasah. Tapi yang sangat disayangkan perkembangan pendidikan agama yaitu pengajian2  secara ‘khas Aceh” nyatanya semakin menghilang dan lenyap. Hal ini memang telah sampai dengan apa yang diramalkan oleh Ulama Besar Teungku Syik Kuta Karang lebih dari seabad yang lalu.

Teungku Syik Kuta Karang (Teungku Syik Di Matang) dalam kitab beliau yang berjudul Akhbarul Karim yang disusun berbentuk syair Aceh pernah menulis dan meramalkan sebagai berikut :

Takoh lason pageui lawah

Tarhat jubah beuneung si naroe

Akhe donya kureung tuah

soh meunasah jeub-jeub nanggroe

Aneuk miet beuet hana sapat

Timu Barat Meunasah sagoe

Nyang na rame barang kapat

oh katrok hat troek bak gantoe

Buleun Sya’ban buleun Ramadhan

Rame sinan Salli aloi

Puasa pih lheueh Fitrah hase

Ma teuduek le Meunasah sagoe

Laen nibaknyan teumpat piasan

Rame sinan Shalli aloi

Meugrum geundrang meutuem bude

Di deugo le siri sagoe

Terjemahan bebas :

Potong Lason pagar lawah

Dibikin jubah dari benang semua

Di akhir masa kurang tuah

Kosong Meunasah tiap-tiap negeri

Anak mengaji jarang terdapat

Timur dan Barat rata negeri

Nyang agak ramai datang di tempat (Meunasah)

Hanya apabila tiba waktunya saja.

Bulan  Sya’ban dan bulan Ramadhan

Ramai disitu bukan kepalang

Puasa tamat fitrahmu selesai

Maka terbengkalailah  Meunasah itu

Selain itu yang ramai lagi di tempat hiburan

Ramai disana tiap ketika

Dam dum gendrang, dentum bedil

Mereka mendengarkan dari mana datang suara.

Demikian ramalan dari Teungku di Matang terhadap perkembangan dari pengajian2  yang telah ada di Aceh sejak dahulu. Sekarang sungguh telah terjelma apa yang dikemukakan dalam ramalan tersebut. Kita merasa prihatin akan perkembangan yang semakin merosot itu.

Kalau sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, di hampir tiap2  Meunasah di Aceh pasti ada pengajian2 yang diadakan kegotongroyongan dari masyarakat di sebuah desa. Pengajian itu ada kalanya diadakan dibiayai oleh rakyat desa secara “meuripe” yaitu dengan dipungut iuran dari tiap-tiap kepala keluarga. Dan bahkan ada pula yang diadakan dengan ke sukarelaan dari ustaz yang mengajar itu. Di zaman itu sungguh banyak Teungku2  di Aceh yang rela mengajar secara sukarela.

Kalau kita meneliti kembali sejarah perkembangan rakyat Aceh yang sangat mematuhi adatnya, maka ternyatalah bahwa semua yang baik itu telah berobah sejak Belanda menjejak kaki di Aceh. Hal ini akan  lebih jelas kalau kita ikuti penjelasan dari Bapak Moehammad Hoesin yang menulis sbb : “Bukan saja bersumpah, tetapi juga dimasa penjajahan Belanda orang Aceh telah berani pula meminum-minuman2  yang memabukkan, meskipun jumlahnya tidak seberapa. Minuman keras dapat dibelinya di-kedai2  yang terdapat dalam kota2. Rumah2  tempat melakukan yang melanggar Hukum Islam dan Adat Aceh, seperti berzina terdapat juga di kota2  dimasa itu. Dimasa pendudukan Jepang perbuatan yang melanggar Hukum dan Adat dimaksud diteruskan juga, sehingga tampaknya lebih buruk dari yang tersebut barusan. Kata2  “sakaj” artinya minuman keras dan “onna” artinya nona, dikenal dengan baik. Tidak malu2  mereka meminum minuman keras itu yang hampir2  tidak pernah terjadi dahulukala. Beruntunglah mulai zaman Republik Indonesia peminum2  itu banyak yang insaf kembali dan balik kembali pada ajaran2  Islam. Perasaan malupun sudah mereka miliki kembali’, demikian tulis Moehammad Hoesin dalam buku beliau  “Adat Aceh”.

MTQ NASIONAL KE XII DI BANDA ACEH.

Sebagaimana mungkin semua anda telah tahu, bahwa di Banda Aceh pada tahun 1981 akan dilangsungkan MTQ Nasional. Di kota Banda Aceh sendiri kita telah dapat merasa dan melihat usaha2  permulaan dari kegiatan2  untuk menyambut peristiwa yang bersejarah nanti. Sudah ber-tahun2 rakyat Aceh menanti-nantikan kapankah kiranya di Bumi Serambi Mekkah ini dapat dilangsungkan/. Mereka ingin dan rindu menatap muka dari wajah2  semua Qari-Qariah dari seluruh Propinsi yang ada di Indonesia. Mereka bersyukur pada Allah, karena nanti Isya Allah semua itu akan terlaksana. Mereka sewaktu tibanya masanya nanti akan mengucapkan selamat datang dan mengelu-elukan kedatangan para peserta MTQ Nasional itu, mereka akan mempersilakan semua tamu2nya untuk melihat dan mempersaksikan segala sesuatu yang ingin mereka lihat disini. Kalau selama ini mereka ada merasa bahwa pasti ada suatu yang unik di Serambi Mekkah, biarlah nanti mereka persaksikan sendiri apa adanya di daerah ini/. Kita dimasa akhir2  ini telah sering membaca berita2  yang bahwa di Aceh khususnya di kota Madya Banda Aceh, pihak yang berwajib sedang giat2nya mengusahakan agar kota Banda Aceh bebas dari semua kemaksiatan baik itu judi, pelacur maupun kemaksiatan lainnya. Kita sungguh mengharapkan agar jangkauan dari kegiatan menghancurkan maksiat ini tidak saja di kota Banda Aceh saja, tapi sedapatnya diperluas hingga mencakup seluruh Daerah Istimewa Aceh dan pula yang paling kita harapkan dari pemimpin2  kita itu agar pembersihan maksiat ini dapat dilaksanakan terus menerus yaitu tidak saja karena mau menyambut MTQ Nasional 1981, tapi sesudah MTQ tsb “feh peunoh” (sama sekali) tidak dijalankan lagi). Kita sebagai warga negara yang baik dari Republik Indonesia yang kita cintai, sudah patut dan sewajarnya memberi partisipasi yang serius bagi pembangunan negara ini dan khususnya bagi kesejahteraan keluarga dan masyarakat disekitar kita masing2.  Mudah2an  masyarakat adil dan makmur akan lekas tercapai. Selamat menyambut ‘Hari Jadi Daerah Istimewa Aceh, tgl 26 Mei 1980”.

Banda Aceh, 26 Mei 1980 / 11 Rajab 1400.

Salam dari Penulis :

T.A. SAKTI

oleh: rachmad yuliadi nasir

Untuk mensosialisasikan nama Aceh bagi warga ibukota Jakarta, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan:”Hadirin sekalian, perlu diketahui, sekarang nama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sudah di ganti seperti semula menjadi ACEH, tolong disebarluaskan”.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf  hadir di acara seminar “Menggerakkan Kawasan Sabang Sesuai Statusnya”, di Hotel Borobudur, Jakarta, selasa(19/5) siang jam 12:30 WIB, yang di adakan oleh BPKS (Badan Penguasaan Kawasan Sabang).

Pak Gubernur, kapan nama NAD berubah menjadi Aceh? Setelah berpikir sejenak, beliau menjawab:”Sejak keluar Peraturan Gubernur tanggal 7 April 2009″.

Setelah makan siang usai, acara ramah tamah antara para peserta seminar, saat ditanyai lebih lanjut, mengapa nama NAD diubah menjadi Aceh, beliau menjawab: “Aceh ya Aceh, sejak dahulu; nama NAD itu hanya pemberian pusat (Jakarta) agar menarik perhatian bagi GAM bahwa Aceh telah menjadi Nanggroe  / Negeri (Nanggroe Aceh Darussalam).”

“Itu hanya akal-akalan pusat saja, yang penting substansinya; ngapain NAD-NAD, palak kali (marah sekali) aku saat mendengar orang ngomong (bicara) NAD-NAD, mau aku pukul orang itu yang ngomong NAD-NAD”, ujar Irwandi.

Menyinggung baru sekarang tahun 2009 NAD berubah menjadi Aceh, “Sekarang aku Gubernur nya, aku yang berkuasa di Aceh”, kata Irwandi Yusuf berapi-api.

“Lihat saat PON (Pekan Olahraga Nasional) berlangsung, dahulu Aceh pada parade pembukaan selalu di urutan awal, karena sesuai abjad A (Aceh); setelah di ganti NAD menjadi paling akhir,sebab abjad N (NAD)”.

Tentang perubahan nama provinsi NAD menjadi Aceh kembali, apakah pusat sudah setuju? ” Ya sudah, pusat sudah aku surati, mereka setuju; sekarang semua kop surat, nama plang kantor, cap stempel sudah di ganti menjadi ACEH”.

“Kamu sudah makan? Makan dulu kesana, sudah pak”, menutup percakapan siang itu. Sebelumnya terlihat Irwandi Yusuf turut antri mengambil makan, setelah itu beliau buru-buru pulang ke Aceh, masih banyak kerjaan, datang ya ke Aceh, main- main ke Sabang, berkunjung ke kilometer nol, berenang di taman laut pulau Rubiah, pantai Iboih, pantai Gapang, pantai Kasih, lihat ribuan benteng Jepang, pergi ke pulau terluar pulau Rondo serta nikmati segala keindahan kota Sabang.

“Aceh sudah aman lho, tidak seperti di Jakarta, banyak copet, maling, jambret, kita berjalan sering ditabrak orang”, kata Irwandi sambil tertawa.

“Aku capai kerja ngurusin Sabang, tapi pusat (Jakarta) selama sembilan tahun, status Sabang belum dapat bergerak secara optimal, karena belum ada PP (peraturan pemerintah) yang di keluarin, jadi implementasi UU NO. 37 tahun 2000 dan UU NO 11 Tahun 2006 terhambat”.

Pengembangan kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang untuk 20 tahun ke depan butuh investasi Rp 11,043 trilyun, saat ini baru Rp 1,2 trilyun yang diberikan pemerintah kepada Aceh.

Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:

  • Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar.
  • Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
  • Bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat.
  • Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
  • Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.

Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.

Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dgn tahun 1385 M-1923 M ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur di dunia bagian Asia telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yg berada di wilayah Aceh yg didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yg segera berganti nama setelah masuk Islam dgn nama Malik al-Saleh yg meninggal pada tahun 1297. Dimana pengganti tak jelas namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir cucu daripada Malik al-Saleh.

Samudera Pasai – Lahir Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dgn raja yg pertama Balaputera Dewa yg berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerah semakin meluas setelah daerah kerajaan Melayu; Tulang Bawang Pulau Bangka Jambi Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya. Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatan ternyata mengundang raja Rajendra Chola dari Chola di India selatan tak bisa menahan nafsu serakah maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Dalam pertempuran dinasti Syailendra tak mampu menahan serangan tentara India selatan ini raja Sriwijaya ditawan dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dgn raja Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucu Malik Al Zahir.

Politik Samudera Pasai bertentangan dgn Politik Gajah Mada
Gajah Mada yg diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331 naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yg diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapan yg disebut dgn sumpah palapa yg berisikan “dia tak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dgn dasar sumpah palapa inilah Gajah Mada merasa tak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai tetapi Majapahit tak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai krn di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempur sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yg berpusat di Palembang ini.

Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yg amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yg tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau Sumatera Timur hingga Perak di semenanjung Malaysia.Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yg memiliki tradisi militer dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka yg meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dgn seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dgn nama Putroe Phang. Konon krn terlalu cinta sang Sultan dgn istri Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabar sang puteri selalu sedih krn memendam rindu yg amat sangat terhadap kampung halaman yg berbukit-bukit. Oleh krn itu Sultan membangun Gunongan utk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh melawan Portugis
Ketika kerajaan Islam Samudera Pasai dalam krisis maka kerajaan Islam Malaka yg muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yg berganti nama setelah masuk Islam dgn panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dgn armada menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yg dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

Pada abad ke-16 Ratu Inggris yg paling berjaya Elizabeth I sang Perawan mengirim utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam” serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris dan mengizinkan Inggris utk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yg amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yg misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yg berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan melayu yg memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalam meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yg terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naik 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal Seri Ratu Safiatudin Seri Tajul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yg merupakan Sultanah yg pertama adl seorang wanita yg amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa Spanyol Belanda Aceh Melayu Arab dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yg beranggotakan 96an orang 1/4 diantara adl wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yg menyatakan keberatan akan seorang Wanita yg menjadi Sultanah. Akhir berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dgn Belanda Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yg disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanan menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman utk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Hubungan dgn Barat – Inggris
Pada abad ke-16 Ratu Inggris Elizabeth I mengirimkan utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yg ditujukan: “Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris utk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yg berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh yg masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin yg terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yg tunduk kepada Aceh yg terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yg mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja James.

Hubungan dgn Barat – Belanda
Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Hubungan dgn Barat – Ottoman
Pada masa Iskandar Muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yg berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Hubungan dgn Barat – Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan Melayu yg memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Do (kini Meuligo Aceh kediaman Gubernur). Di dalam meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istana (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yg terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naik empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal Seri Ratu Safiatudin Seri Tajul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yg merupakan Sultanah yg pertama adl seorang wanita yg amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa Spanyol Belanda Aceh Melayu Arab dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yg beranggotakan 96 orang 1/4 di antara adl wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yg menyatakan keberatan akan seorang wanita yg menjadi Sultanah. Akhir berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datang Pihak kolonial Ke Aceh
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yg berkepanjangan sejak awal abad ke-16 pertama dgn Portugal lalu sejak abad ke-18 dgn Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18 Aceh terpaksa menyerahkan wilayah di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824 Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani di mana Britania menyerahkan wilayah di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adl koloni mereka meskipun hal ini tak benar. Pada tahun 1871 Britania membiarkan Belanda utk menjajah Aceh kemungkinan utk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli Langkat Asahan dan Serdang kepada Belanda padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adl Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dgn garis lintang Sinagpura. Kedua mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tak menepati janji sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris krn memang Belanda bersalah.
4. Di buka terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting utk lalulintas perdagangan.
5. Dibuat Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda yg isi Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda utk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerah di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871 Aceh mengadakan hubungan diplomatik dgn Konsul Amerika Italia Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dgn Konsul Amerika Italia dan Turki di Singapura Belanda menjadikan itu sebagai alasan utk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dgn 2 kapal perang datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu tetapi Sultan Machmud menolak utk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dgn 3.000 serdadu yg dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874 namun dikalahkan tentara Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah yg telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874 digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880 pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fisabilillah dikobarkan di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dgn Belanda Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yg disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanan menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman utk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yg sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yg cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu Menteri Perang Belanda Weitzel kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat di antara Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda utk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dgn pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada 1892 dan 1893 pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yg telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh utk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerja itu dibukukan dgn judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana utk menaklukkan Aceh.

Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yg bertugas di Aceh adalah
1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dgn para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh dgn cara mendirikan langgar masjid memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898 J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904 kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehat dan bersama letnan Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda) merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Daud akhir meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istri anak serta ibunda terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhir jatuh seluruh pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dgn bangunan baru yg sekarang dikenal dgn nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz dimana dibentuk pasukan marsuse yg dipimpin oleh Christoffel dgn pasukan Colone Macan yg telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan hutan-hutan rimba raya Aceh utk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikut yg dilakukan Belanda adl dgn cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misal Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibat Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dgn diam-diam menyergap Tangse kembali Panglima Polem dapat meloloskan diri tetapi sebagai ganti ditangkap putera Panglima Polem Cut Po Radeu saudara perempuan dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibat Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjut pembersihan dgn cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuh yg terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nya Dien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya dimana akhir Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang Jawa Barat.
Surat Perjanjian Pendek Tanda Menyerah Ciptaan Van Heutz

Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan Raja (Sultan) mengakui daerah sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dgn kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda. (RH Saragih J Sirait M Simamora Sejarah Nasional 1987)

Bangkit Nasionalisme Aceh
Sementara pada masa kekuasaan Belanda bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dgn wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam sebuah organisasi dagang Islam yg didirikan di Surakarta pada tahun 1912 tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939 Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabang di Aceh menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yg sama para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) sebuah organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama Moehammad Hasan).

Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lain rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942 krn Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang utk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah termasuk di Bayu dekat Lhokseumawe pada tahun 1942 yg dipimpin Teungku Abdul Jalil dan di Pandrah Jeunieb pada tahun 1944.

Masa Republik IndonesiaAceh Tidak Termasuk Anggota Negara-negara Bagian RIS
41 tahun kemudian semenjak selesai perang Aceh Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan utk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai sebelum Van Mook menciptakan negara-negara boneka yg tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yg meliputi seluruh Indonesia yaitu yg terdiri dari:
1. Negara RI yg meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yg tegak sendiri seperti Jawa Tengah Bangka-Belitung Riau Daerah Istimewa Kalimantan Barat Dayak Besar Daerah Banjar Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebih yg bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adl Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang utk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh
Belanda dibawah Ratu Juliana Perdana Menteri Dr. Willem Drees Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangan pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yg sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yg sama Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangan pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Sekretariat Negara RI 1986)

Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dgn persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu beberapa negara bagian menggabungkan ke RI sehingga pada tanggal 5 April 1950 yg tinggal hanya tiga negara bagian yaitu RI NST (Negara Sumatera Timur) dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya utk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Sekretariat Negara RI 1986)

Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat bangsa asing pemeluk bermatjam2 Agama pegawai negeri saudagar dan sebagainja:
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama utk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa bekerdjalah dgn sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage merusakkan harta vitaal mentjulik merampok menjiarkan kabar bohong inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dgn hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yg beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk krn Islam memerintahkan utk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

Daud Beureueh Menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Sekretariat Negara RI 1986)

Hasan Di Tiro Mendeklarasi Negara Aceh Sumatera
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.
“ “Kepada rakyat di seluruh dunia:
Kami rakyat Aceh Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami dgn ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh Sumatra yg berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra
4 Desember 1976” ”
“ “To the people of the world:
We the people of Acheh Sumatra exercising our right of self-determination and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java.
In the name of sovereign people of Acheh Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh Sumatra December 4 1976

Akhir Konflik di Aceh – Operasi militer Indonesia di Aceh
Pada 15 Agustus 2005 GAM dan pemerintah Indonesia akhir berhasil mencapai kesepakatan damai utk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.

Pada 26 Desember 2004 sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yg melanda sebagian besar pesisir barat Aceh termasuk Banda Aceh dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD khusus di bagian barat selatan dan pedalaman utk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yg disebut Aceh Leuser Antara yg terdiri dari Aceh Tengah Bener Meriah Gayo Lues Aceh Tenggara dan Aceh Singkil serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yg terdiri dari Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Simeulue Aceh Barat dan Aceh Jaya.

4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno Jakarta yg dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yg ingin dimekarkan wilayah dan dilanjutkan dgn unjukrasa yg menuntut lepas 11 kabupaten tadi dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada 15 Agustus 2005 GAM dan pemerintah Indonesia akhir menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yg telah berlangsung selama hampir 30 tahun.

1. Teuku Nyak Arief (1945-1946)

Latar Belakang :

Teuku Nyak Arief dilahirkan di Ulèë Lheue, Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tanggal 17 Juli 1899. Ayahnya adalah seorang Ulèë Balang bernama Teuku Nyak Banta, ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk. Kedudukan Teuku Nyak Banta adalah sebagai Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar. Teuku Nyak Arief merupakan anak yang ke 3 dari 5 bersaudara, adapun saudara kandung Teuku Nyak Arief adalah sebagai berikut:

1. Cut Nyak Asmah.
2. Cut Nyak Mariah.
3. Teuku Nyak Arief.
4. Cut Nyak Samsiah.
5. Teuku Mohd. Yusuf.

Teuku Nyak Arief bersekolah di Volksschool (Sekolah Rakyat) Kutaraja, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Raja Kweekschool di Bukit Tinggi, dan kemudian Sekolah Pamongpraja OSVIA di Serang Banten. Sekolah ini khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak Raja dan Bangsawan dari seluruh Indonesia. selengkapnya
2. Teuku Daud Syah (1947-1948)

3. Tgk. Daud Beureueh (1948-1951) Gubernur militer

Latar Belakang :

Teungku Muhammad Daud Beureu’eh (lahir di Beureu’eh, kabupaten Pidie, Aceh, 17 September 1899 – meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun) atau yang nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu’eh adalah mantan Gubernur Aceh, pendiri NII di Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Ketika PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan untuk menentang pendudukan Belanda, Daud Beureu’eh terpilih sebagai ketuanya. Pada masa perang revolusi, Daud Beureu’eh menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh.

Sejak 21 September 1953 sampai dengan 9 Mei 1962, ia melakukan pemberontakan kepada pemerintah dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno. Namun akhirnya ia kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah dibujuk kembali oleh Mohammad Natsir.

4. Danu Broto (1951-1952)

5. Teuku Sulaiman Daud (1952-1953)

6. Abdul Wahab (1953-1955)

7. Abdul Razak (1955-1956)

8. Ali Hasjmy (1957-1964)

9. Nyak Adam Kamil (1964-1966)

10. H. Hasbi Wahidi (1966-1967)

11. A. Muzakkir Walad (1967-1978)

12. Prof. Dr. A. Madjid Ibrahim (1978-1981)

Latar Belakang :

Prof. Ali Hasjmy (Nama lahir: Muhammad Ali Hasyim) alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun lahir di Lampaseh, Aceh, 28 Maret 1914 – meninggal 18 Januari 1998 pada umur 83 tahun adalah sastrawan, ulama, dan tokoh daerah Aceh. selengkapnya

13. Eddy Sabhara (Pjs) (1981)

14. H. Hadi Thayeb (1981-1986)

Latar Belakang :

Teuku Mohammad Hadi Thayeb (lahir di Peureulak, Aceh, 14 September 1922; umur 89 tahun) adalah putra Teuku Tjhik Haji Mohammad Thayeb, pejuang Indonesia dan uleebalang terakhir dari Peureulak, Aceh Timur, yang “diasingkan” oleh Belanda dari Aceh. Hadi, anak ke-lima dari delapan bersaudara, mengikuti jejak ayahnya untuk mewujudkan impian kemerdekaan Indonesia.

Sejak kecil, Hadi bercita-cita menjadi dokter. Setelah menyelesaikan sekolahnya di HBS Jakarta, ia masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tetapi, pada masa itu, penjajahan Jepang telah menyusup permukaan Indonesia. Dengan demikian, Hadi yang termasuk alumni FKUI/Salemba 6, terpaksa berhenti masa pendidikan kedokterannya pada tanggal 8 Maret 1942. FKUI awalnya di bentuk oleh Pemertinah Hindia-Belanda pada tanggal 16 Agustus 1927, atas nama Geneeskundige Hoogeschool. Kedatangan Jepang mengakibatkan penetutupan Sekolah Tinggi Kedokteran, dan diberi nama Ika Dai Gaku pada tanggal 29 April 1943 kemudian.

Mula-mulanya, Hadi bertugas sebagai Pemimpin Kantor Urusan Indonesia pada tahun 1942 hingga 1945. Selain itu, ia menjadi anggota Seinendan (Barisan Pemuda) dari 1944 sampai 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, Hadi diajak oleh Achmad Soebardjo (Menteri Luar Negeri Indonesia pertama) untuk membentuk dan mendirikan kantor Departemen Luar Negeri. Untuk sementara itu, rumah/garasi Achmad Soebardjo di Jl. Cikini no. 80-82 diubah dan digunakan sebagai kantor Deplu. Sejak itu, Hadi menjadi pegawai permanen di Deplu. Ia termasuk enam pegawai pertama Deplu (dua diantaranya Bapak Achmad Soebardjo dan Ibu Herawati Diah).

Hadi dikenal terutama sebagai orang diplomat dalam masa kariernya. Ia menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Italia, Polandia, Arab Saudi, Swiss dan Britania Raya. Sebelumnya ia ditugaskan sebagai Chargé d’affaires di Meksiko dan Paris. Selain itu, jabatan yang pernah diduduki atau diisi oleh Hadi adalah Menteri Perindustrian, Wakil Gubernur Lemhannas dan Gubernur Aceh. selengkapnya

15. Prof. Dr. Ibrahim Hasan (1986-1993)

Latar Belakang :

Ibrahim Hassan (lahir di Lampoh Weng, Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 16 Maret 1935 – meninggal di Jakarta, 20 Januari 2007 pada umur 71 tahun) adalah salah satu mantan Menteri Negara Urusan Pangan/Kabulog dan Gubernur Aceh periode 19861993. Ia juga pernah menjabat sebagai rektor Universitas Syiah Kuala periode 1973 dan 1982. selengkapnya

16. Prof. Dr. Syamsudin Mahmud (1993-21 Juni 2000)

Latar Belakang :

Syamsudin Mahmud (lahir di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 24 April 1935; umur 77 tahun) Gubernur Aceh periode 19932000. Ia diangkat sebagai Gubernur Aceh menggantikan Ibrahim Hassan. selengkapnya

17. Ramli Ridwan (Pj. 21 Juni 2000-November 2000)

Pejabat Gubernur

18. Abdullah Puteh November (2000-19 Juli 2004)

Latar belakang :

Abdullah Puteh (lahir di Meunasah Arun, Aceh Timur, 4 Juli 1948; umur 63 tahun), adalah seorang mantan gubernur Nanggroe Aceh Darussalam,(Aceh sekarang).

Ia pada tanggal 7 Desember 2004 dijebloskan ke Rutan Salemba, Jakarta karena dituduh melakukan korupsi dalam pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp 12,5 miliar.

Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat vonis hakim dibacakan, Puteh berada di rumah sakit karena baru selesai dioperasi prostatnya. Segera setelah putusan tersebut dikeluarkan, Departemen Dalam Negeri memberhentikan Puteh sebagai Gubernur. Sebelumnya Puteh hanya dinonaktifkan sementara sejak 26 Desember 2004

19. Azwar Abubakar (Pj. 19 Juli 2004-30 Desember 2005)

Pejabat Gubernur, mengantikan Abdullah Puteh yang dipenjara 10 tahun karena kasus korupsi

Latar Belakang :

Haji Azwar Abubakar (lahir di Banda Aceh, 21 Juni 1952; umur 59 tahun) adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Indonesia yang ke-14. selengkapnya

20. Mustafa Abubakar (Pj. 30 Desember 2005-Februari 2007)

Latar Belakang :

Mustafa Abubakar, Dr. Ir. (lahir di Pidie, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 15 Oktober 1949; umur 62 tahun) adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II dan mantan Direktur Utama Perusahaan Umum (PERUM) Badan Urusan Logistik (BULOG) Republik Indonesia. Ia juga adalah mantan Pelaksana Tugas Harian Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.

Mustafa Abubakar jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit Medistra, Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2011[1] dan untuk sementara tugasnya akan digantikan oleh Hatta Rajasa. Pada tanggal 18 Oktober 2011, berkaitan dengan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II, Mustafa Abubakar digantikan oleh Dahlan Iskan sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia

21. Irwandi Yusuf (8 Februari 2007-7 Februari 2011)

Latar Belakang :

Irwandi Yusuf atau lengkapnya drh. Irwandi Yusuf M.Sc. (lahir di Bireuen, Aceh, 2 Agustus 1960; umur 51 tahun) adalah Gubernur Provinsi Aceh sekarang ini. Bersama wakilnya, ia dilantik pada 8 Februari 2007 oleh Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf di hadapan 67 anggota DPR Aceh. selengkapnya

22. Dr. Zaini Abdullah ( Periode 2012 – 2017)

Latar Belakang :

Dr. ZAINI ABDULLAH Alamat Tempat Tinggal: Darul Aman, Desa Rapana, Jl. Tangse km 1, Teureubue,  Beureunuen
Tempat dan tanggal lahir: Sigli, 24 April  1940
Profesi: Dokter
Kewargenegaraan: Indonesia
Nama Istri: Niazah A. Hamid
Nama Anak:
–   Niza Ratna Zaini
–    Hasnita Zahra Zaini
–    Sri Wahyuni Zaini
Riwayat Pendidikan:
–    Sekolah Rakyat di Beureunuen – Aceh (1947-1952)
–    Sekolah Menengah Pertama Sigli – Aceh (1953-1957)
–    Sekolah Menengah Atas Kutaraja/Banda Aceh – Aceh (1957-1960)
–    Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (1960-1972)
–    Pendidikan Spesialis dalam Bidang Penyakit Kandungan dan Kebidanan pada Universitas Sumatera Utara (USU) – RSU Pirngadi – Medan (1975-1977)
–    Pendidikan Spesialis ‘Family Doctor’ di Karolinska Universitets Sjukhus Huddinge,  Stockholm – Swedia (1990-1995)
Riwayat Pekerjaan:
–    Kepala Puskesmas/Kepala Rumah Sakit Umum Kuala Simpang–Aceh Timur  (1972-1975)
–    Aktif sebagai dokter di sejumlah Rumah Sakit di Swedia (1982-2005)
–    Pensiun dan bekerja sebagai Konsultan Kesehatan dan dokter di Rumah Sakit Umum dan Health Centre di Swedia (2005-2009)
Pengalaman dalam Organisasi dan Perdamaian
–    Leadership Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekaligus Anggota Delegasi GAM dalam proses perdamaian Pertama dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada Tahun 2000-2003 di Genewa – Swiss.
–    Leadership Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekaligus anggota Delegasi GAM dalam Perundingan Antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki-Finlandia tahun 2005 yang menghasilkan Kesepakatan Damai Bersama (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005.

After the Aceh daily newspaper’s offices were destroyed, with many of its journalists still missing, paper is published for the first time since the tsunamis hit

The Jakarta Post
Saturday, January 2, 2005

After six days of absence due to the destruction of its office and disappearance of most of its employees, Aceh’s only daily Serambi Indonesia hit the streets again on Sunday.

This time Serambi greets its readers not from its usual base in Banda Aceh, the capital of Aceh province, badly damaged from Sunday’s tsunami, but from a new base in Lhokseumawe, North Aceh.

Serambi’s office and printing house in downtown Banda Aceh were leveled to the ground, with nothing left intact, and many of its journalists are still missing, feared dead.

The daily, this time, is only 8 pages, half its normal size of 16 pages, due to shortages of manpower.

According to Serambi’s Lhokseumawe branch head Ismail M. Syam, the eight-page newspaper is currently being run by 10 people, comprising six journalists and four production staff.

The 10 people are not all Serambi’s employees from Lhokseumawe but rather employees from Kompas’s Persda network, sent from other parts of the country, including from Makassar, Batam and Jakarta. Serambi is owned by the Kompas Gramedia Group.

“Now, the status of editors and reporters is the same. Everyone has to get into the field and file stories. Otherwise, we will not be able to fill the paper with local news,” Ismail told The Jakarta Post here.

He explained that 60 percent of Serambi’s 225 employees — including journalists — are still unaccounted for.

Serambi is not alone, though. Since Sunday, media companies outside Aceh were also frantically trying to locate their reporters and staff based in the province.

Serambi was established in the early 1990s by several senior Kompas journalists, including its editor-in-chief Syamsul Kahar, who survived the tragedy.

Following the disaster, a number of Serambi people, backed by its parent publication, prepared printing of the paper from a new base, Lhokseumawe.

Lhokseumawe was chosen because the newspaper has a five-unit printing house in the city.

The publisher, PT Aceh Media Grafika, said it is printing 10,000 copies per day — compared to 100,000 before the disaster. All copies are being distributed free of charge, and it will remain free for the next week or so.

——————————–

You can see the website of the Indonesian-language daily, Serambi, at http://pendidikan.bangkapos.com/.

Date Posted: 1/2/2005

—————————————————————————————————

INDONESIA: ‘Serambi kembali kios koran lagi

Setelah kantor surat kabar harian Aceh hancur, dengan banyak wartawan yang masih hilang, kertas ini diterbitkan untuk pertama kalinya sejak tsunami melanda

The Jakarta Post
Sabtu, 2 Januari, 2005

Setelah enam hari absen karena penghancuran kantor dan hilangnya sebagian besar karyawannya, hanya harian Serambi Indonesia Aceh pergi jalan-jalan lagi pada Minggu.

Serambi ini waktu menyapa pembacanya bukan dari dasar yang biasa di Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh, rusak parah akibat tsunami hari Minggu, tetapi dari basis baru di Lhokseumawe, Aceh Utara.

Kantor Serambi dan percetakan di pusat kota Banda Aceh rata dengan tanah, dengan tersisa utuh, dan banyak wartawan yang masih hilang, dikhawatirkan tewas.

Harian, kali ini, hanya 8 halaman, setengah ukuran normal dari 16 halaman, karena kekurangan tenaga kerja.

Menurut kepala cabang Lhokseumawe Serambi Ismail M. Syam, surat kabar delapan halaman saat ini sedang dijalankan oleh 10 orang, terdiri dari enam wartawan dan empat staf produksi.

10 orang bukan karyawan semua Serambi dari Lhokseumawe melainkan karyawan dari jaringan Persda Kompas, yang dikirim dari bagian lain negara itu, termasuk dari Makassar, Batam dan Jakarta. Serambi dimiliki oleh Kelompok Kompas Gramedia.

“Sekarang, status editor dan wartawan adalah sama Setiap orang harus masuk ke dalam cerita lapangan dan file.. Jika tidak, kami tidak akan bisa untuk mengisi kertas dengan berita lokal,” kata Ismail The Jakarta Post di sini.

Dia menjelaskan bahwa 60 persen dari 225 Serambi karyawan – termasuk wartawan – masih belum ditemukan.

Serambi tidak sendirian, meskipun. Sejak hari Minggu, perusahaan media luar Aceh juga panik mencoba untuk mencari wartawan dan staf yang berbasis di provinsi tersebut.

Serambi didirikan pada awal 1990-an oleh beberapa wartawan Kompas senior, termasuk editor-in-chief Syamsul Kahar, yang selamat tragedi itu.

Setelah bencana, sejumlah orang Serambi, didukung oleh publikasi induknya, siap cetak kertas dari dasar yang baru, Lhokseumawe.

Lhokseumawe dipilih karena koran memiliki rumah lima unit percetakan di kota.

Penerbit, PT Aceh Media Grafika, mengatakan sedang mencetak 10.000 eksemplar per hari – dibandingkan dengan 100.000 sebelum bencana. Semua salinan yang didistribusikan gratis, dan akan tetap bebas untuk minggu berikutnya atau lebih.

——————————–

Anda dapat melihat website dari bahasa Indonesia-bahasa sehari-hari, Serambi, di http://pendidikan.bangkapos.com/.

Tanggal Terpasang: 2005/01/02

Banda Aceh’s only daily newspaper pulls together to restore communication for the tsunami devestated area

The Jakarta Post
Friday, January 14, 2005

By Nani Afrida

A small, dirty shop-house with no parking space in the Beurawe area of Banda Aceh has now become the place where Aceh’s only daily, Serambi Indonesia, endeavors to rise from ashes.

The newspapers’s former office was badly damaged by the tsunami.

At the front of the house there is a reception area that also serves to receive advertisements and reports of missing persons. The meeting room is only 12 square meters in size while the editorial room is located in a corner with some 10 computers.

“Those were the only computers we could salvage; the rest of them were lost during the tsunami,” the daily’s head of human resources department, Nazamuddin Arbi, told The Jakarta Post on Thursday.

Unlike previously, when the daily was located in a second story building in Baet village, there is no longer bursts of laughter or joking among the employees.

The earthquake and tsunami have wiped the smiles out from the surviving employees’ faces. Apart from ruining the daily’s office, 20 percent of the daily’s employees either died or have been declared missing as a result of the disaster.

“The disaster cost us 51 employees, nine of them journalists, including Serambi Indonesia‘s managing editor,” Nazamuddin Arbi said.

Serambi Indonesia‘s bureau in Banda Aceh had 288 employees, of which some 30 percent were journalists. At that time of the disaster, many of the paper’s employees preferred to live near the office.

“If families are also counted, the number of (our people) who either died or are missing has reached 185 people,” Nazamuddin said.

Serambi Indonesia, owned by the Kompas Gramedia Group, was set up in the early 1990s by several senior Kompas journalists, including its editor-in-chief Syamsul Kahar, who survived the tragedy.

The destruction of the paper’s facilities as well as the loss of its human resources caused Serambi Indonesia to disappear from the newsstands for six days.

On the third day after the disaster struck, employees managed to move some of the newspaper’s assets to Serambi Indonesia‘s Lhokseumawe office. Very little remained at the Banda Aceh office, most was swept away by the tsunami. With simple equipment they got back to work, determined to bring news to the people.

On Jan. 1, the daily was back on the newsstands, printed at its Lhokseumawe office. Lhokseumawe was chosen because the newspaper has a five-unit printing house in the city. The print run is now 5,000 copies, much less than its usual 25,000 copies.

The paper is published with eight pages — half its normal size of 16 pages due to shortages of manpower — and was initially distributed for free. The paper is now sold for Rp 1,500 a copy.

On Thursday the atmosphere of grief could still be felt in the daily’s office, but the spirit is still there.

“We do this despite our limitations because we cannot keep on mourning forever,” Nazamuddin said.

Date Posted: 1/14/2005

—————————————————————————————————

Hanya surat kabar harian Banda Aceh menarik bersama-sama untuk mengembalikan komunikasi untuk tsunami devestated daerah

The Jakarta Post
Jumat, 14 Januari, 2005

Dengan Nani Afrida

Kecil, kotor ruko tanpa tempat parkir di daerah Beurawe Banda Aceh kini telah menjadi tempat di mana Aceh hanya harian, Serambi Indonesia, upaya untuk bangkit dari abu.

Bekas kantor surat kabar itu rusak parah akibat tsunami.

Di depan rumah ada area resepsi yang juga berfungsi untuk menerima iklan dan laporan orang hilang. Ruang pertemuan hanya 12 meter persegi sedangkan ruang editorial terletak di sudut dengan sekitar 10 komputer.

“Itu adalah komputer hanya kita bisa menyelamatkan; sisanya hilang selama tsunami,” kata kepala harian dari departemen sumber daya manusia, Nazamuddin Arbi, The Jakarta Post pada hari Kamis.

Tidak seperti sebelumnya, ketika harian terletak di sebuah bangunan cerita kedua di desa Baet, tidak ada lagi ledakan tawa atau bercanda di antara karyawan.

Gempa bumi dan tsunami telah menghapus senyum keluar dari wajah para karyawan yang masih hidup ‘. Selain merusak kantor harian, 20 persen karyawan harian yang meninggal atau telah dinyatakan hilang akibat bencana.

“Bencana ini menelan biaya 51 karyawan, sembilan di antaranya wartawan, termasuk redaksi Serambi Indonesia yang mengelola,” kata Nazamuddin Arbi.

Biro Serambi Indonesia di Banda Aceh memiliki 288 karyawan, yang sekitar 30 persen adalah wartawan. Pada saat bencana, banyak karyawan koran tersebut lebih suka tinggal di dekat kantor.

“Jika keluarga juga dihitung, jumlah (orang kita) yang meninggal atau hilang mencapai 185 orang,” kata Nazamuddin.

Serambi Indonesia, yang dimiliki oleh Kompas Gramedia Group, didirikan pada awal 1990-an oleh beberapa wartawan Kompas senior, termasuk editor-in-chief Syamsul Kahar, yang selamat tragedi itu.

Perusakan fasilitas kertas serta hilangnya sumber daya manusia yang disebabkan Serambi Indonesia menghilang dari kios koran selama enam hari.

Pada hari ketiga setelah bencana itu terjadi, karyawan berhasil memindahkan beberapa aset surat kabar itu ke kantor Lhokseumawe Serambi Indonesia. Sangat sedikit tetap di kantor Banda Aceh, sebagian tersapu tsunami. Dengan peralatan sederhana mereka kembali ke pekerjaan, bertekad untuk membawa berita kepada masyarakat.

Pada 1 Januari, harian ini telah kembali di kios koran, dicetak di kantor Lhokseumawe nya. Lhokseumawe dipilih karena koran memiliki rumah lima unit percetakan di kota. Jangka cetak sekarang 5.000 eksemplar, jauh lebih sedikit dari biasa 25.000 eksemplar.

Makalah ini diterbitkan dengan delapan halaman – setengah ukuran normal dari 16 halaman karena kekurangan tenaga kerja – dan awalnya didistribusikan secara gratis. Makalah ini sekarang dijual seharga Rp 1.500 salinan.

Pada hari Kamis suasana duka masih bisa dirasakan di kantor sehari-hari, tetapi roh adalah masih ada.

“Kami melakukan ini meskipun keterbatasan kita karena kita tidak bisa terus berkabung selamanya,” kata Nazamuddin.

Date Posted: 2005/1/14